22 Februari 2009

MENGENAL HAKIKAT KEPEMILIKAN & PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN

Oleh :
Busran *)

Sumber Daya Alam (SDA) dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari alam yang dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Secara teoritis SDA terbagi dua, yaitu : satu, SDA yang dapat diperbaharui seperti air, tanah, tumbuhan dan hewan dan dua, SDA yang tidak dapat diperbaharui seperti pasir laut, emas, minyak bumi, batu bara, nikel, timah, dll.

Pengelolaan SDA tersebut di atas sangat tergantung kepada jenis kepemilikan dari SDA itu sendiri. Menurut penulis (sebagaimana halnya telah ditetapkan oleh syariat Islam), terdapat tiga jenis kepemilikan terhadap SDA, yaitu : 1) pemilikan pribadi, 2) negara dan 3) umum. Pemilikan pribadi merupakan pemilikan yang dapat dimiliki secara individual (rumah, mobil, sawah, toko, dll). Pemilikan negara adalah pemilikan pribadi yang merupakan aset negara (mobil dinas, kantor, fasilitas umum, dll). Pemilikan umum adalah milik semua rakyat, bukan milik pribadi atau negara.

Hutan, Sumber Daya Berlimpah yang Salah Urus
Sampai dengan tahun 2004, dari kawasan hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar telah ditunjuk oleh Menteri Kehutanan seluas 109,9 juta hektar. Kawasan hutan tersebut terdiri dari hutan konservasi seluas 23,24 juta hektar, hutan lindung seluas 29,1 juta hektar, hutan produksi terbatas seluas 16,21 juta hektar, hutan produksi seluas 27,74 hektar dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 13,67 juta hektar (Anonim, 2005).
Selama tiga dekade terakhir, sumber daya hutan telah menjadi modal utama pembangunan ekonomi nasional, yang memberi dampak positif antara lain terhadap peningkatan devisa, penyerapan tenaga kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan pertumbuhan ekonomi. BPS (2000) menunjukkan devisa sektor kehutanan pada Pelita VI (1992-1997 tercatat sebesar US $ 16,0 milyar, atau sekitar 3,5 % dari PDB nasional.
Kegiatan eksploitasi hutan secara besar-besaran dimulai sejak tahun 1970-an, yang dimulai dengan terbitnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan. Seiring dan sejalan dengan hal tersebut, diterbitkan pula Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), yang memberi ruang yang lebar bagi para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Selanjutnya diikuti pula dengan berbagai kebijakan yang memungkinkan para pengusaha besar untuk menguasai dan membabat hutan guna membesarkan modalnya, misalnya Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1970 tentang Pengusahaan Hutan, Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1990 tentang Hutan Tanaman Industri dan peraturan lainnya yang secara nyata tidak berpihak pada rakyat (Kelanajaya, 2002).
Meski dalam Forest Agreement tidak menyebutkan bahwa penguasaan pengelolaan sumber daya alam (hutan) tersebut bukan dalam bentuk hak milik, namun yang berhak memiliki hasil bersih dari sumber daya hutan yang telah dieksploitasi tersebut tetaplah para pemegang sahamnya (setelah dikurangi biaya produksi, PSDH dan DR, pajak, gaji karyawan dan lain-lain). Sebagai contoh, sebagaimana dikutip Agustianto, 2005 dalam Al-Jawi, 2006, menurut laporan WALHI yang diterbitkan tahun 1993 saja, rata-rata hasil hutan Indonesia tiap tahunnya 2,5 miliar dolas AS. Pada tahun 2005 diperkirakan hasilnya mencapai sekitar 7-8 miliar dolar AS. Namun, menurut Sembiring (1994) sebagaimana dikutip Al-Jawi (2006), semua orang juga tahu, kini Indonesia menjadi negara bangkrut. Dari hasil hutan sejumlah itu, yang masuk ke dalam kas negara ternyata hanya 17 %, sedangkan yang 83 % masuk ke kantong pengusaha IUPHHK (dulu HPH) yang tidak bertanggung jawab.
Pengelolaan hutan dengan sistem HPH sebenarnya bukan asli Indonesia, melankan ditiru dari Belanda. Sistem pemberian HPH yang beratus tahun lalu sesungguhnya sudah dianggap salah oleh Belanda dan sangat merugikan rakyat itu, kemudian tepatnya tahun 1968 diterapkan oleh rezim Orde Baru. Saat itu pemerintah memang benar-benar sedang membutuhkan dana untuk biaya pembangunan sehingga hampir setengah dari seluruh luas hutan Indonesia yang 120 juta hektar itu diperkenankan untuk diambil kayunya (Yusanto, 2002).
Kemudian pada tahun 1999, UU Pokok Kehutanan Nomor 5 Tahun 1967 direvisi dengan UU Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999. Mengapa direvisi ? Sebab UU Nomor 5 Tahun 1967 itu hanya menekankan produksi (alias rakus). Lalu lahirlah UU Nomor 41 Tahun 1999 yang agak mendingan karena sudah memperhitungkan konservasi dan partisipasi masyarakat (Nurrochmat, 2005 dalam Al-Jawi, 2006).
Karena hanya menekankan produksi, wajar jika hutan Indonesia lalu dikelola seperti halnya pengelolaan tambang (minning management) sehingga aspek kelestarian berada pada titik terendah, sementara kegiatan penebangan berada pada titik tertinggi. Dampaknya ? Sangat jelas, akan mengakibatkan kerusakan hutan yang sangat dahsyat. PT. Inhutani, BUMN di bawah pengelolaan teknis Departemen Kehutanan, pernah meneliti bahwa eksploitasi hutan melalui pola HPH ternyata menimbulkan kerusakan hutan lebih dari 50 juta hektar. Kini areal kerusakan hutan mencapai 56,98 juta hektar.
Konflik kepentingan antara kehutanan dan pertambangan juga telah menyebabkan kawasan hutan lindung atau konservasi saat ini benar-benar sudah terancam keberadaannya diantaranya hutan lindung Pulau Gag-Papua yang sudah resmi menjadi lokasi proyek PT. Gag Nickel, Taman Hutan Raya Poboya-Paneki oleh PT. Citra Palu Mineral/Rio Tinto, Palu Sulawesi Tengah dan Taman Nasional Meru Betiri di Jember Jawa Timur oleh PT. Jember Metal, Banyuwangi Mineral dan PT. Hakman. Belum lagi ancaman terhadap kawasan konservasi lainnya yang hampir semuanya dijarah oleh perusahaan tambang, seperti Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah oleh PT. Mandar Uli Minerals/Rio Tinto, Taman Nasional Kerinci Seblat oleh PT. Barisan Tropikal Mining dan Sari Agrindo Andalas, kawasan hutan lindung Cagar Alam Aketajawe dan Lalobata, Maluku Tengah oleh Weda Bay Minerals, hutan lindung Meratus Kalimantan Selatan oleh PT. Pelsart Resources NL dan Placer Dome, Taman Nasional Wanggameti oleh PT. BHP, Cagar Alam Nantu oleh PT. Gorontalo Minerals dan Taman Wisata Pulau Buhubulu oleh PT. Antam Tbk (Kelanajaya, 2002).
Walhasil, hutan yang semestinya menjadi sumber kekayaan rakyat Indonesia ternyata hasilnya nyaris tidak dirasakan oleh mayoritas rakyat karena mengalami kegagalan dalam pengelolaannya.

Mengapa Gagal ?
Irawan (2005) dalam Al-Jawi (2006) menyebutkan bahwa kegagalan pengelolaan hutan selama ini adalah akibat kesalahan pembuat kebijakan, termasuk penyelewengan pelaksanaan regulasi, dan penyimpangan dalam tataran teknis di lapangan. Kesalahan pembuat kebijakan tersebut berangkat dari satu asumsi bahwa hutan sebagai sumber daya nasional harus dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Atas dasar asumsi tersebut, yakni bahwa dalam rangka memperoleh manfaat yang optimal dari hutan dan kawasan hutan bagi kesejahteraan masyarakat, pada prinsipnya semua hutan dan kawasan hutan dapat dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan sifat, karateristik, dan kerentanannya serta tidak dibenarkan merubah fungsi pokoknya.
Pada dasarnya, asumsi tersebut sah-sah saja. Yang kemudian menjadi permasalahan adalah ketika pengelolaan dan pemanfaatan hutan dan kawasan hutan tersebut diserahkan sepenuhnya kepada pihak swasta atau pengusaha yang notabene mereka akan selalu menerapkan prinsip-prinsip ekonomi yang berakar dari sistem kapitalisme, ‘pengeluaran minimal untuk mendapatkan keuntungan maksimal’. Sehingga yang kemudian terjadi adalah mereka tidak akan sungkan untuk melakukan apapun untuk memuluskan segala kepentingannya guna mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, termasuk menyuap para pengambil kebijakan.
Selain itu, karakter kapitalisme yang individualis telah mewujud dalam sikap menomorsatukan kepemilikan individu (private property) sebagai premis ekonomi dalam kapitalisme (Heilbroner,1991 dalam Al-Jawi, 2006). Wajarlah jika dalam pengelolaan hutan, hutan dipandang sebagai milik individu, yakni milik pengusaha melalui pemberian HPH/IUPHHK yang diberikan oleh penguasa.
Selain mengutamakan kepemilikan individu, pendekatan kapitalisme yang utilitarian telah melahirkan sikap eksploitatif atas sumber daya alam seraya mengabaikan aspek moralitas (Heilbroner, 1991 dalam Al-Jawi, 2006). Utilitarianisme menilai baik buruknya suatu tindakan berdasarkan akibatnya bagi banyak orang. Tindakan publik tidak dinilai sebagai baik atau buruk berdasarkan nilai kebijakan atau tindakan itu sendiri. Pijakan obyektif yang digunakan adalah dengan melihat apakah suatu kebijakan atau tindakan publik tersebut membawa manfaat atau akibat yang berguna, atau sebaliknya membawa kerugian bagi orang-orang terkait. Artinya hanya sekedar mementingkan aspek kemanfaatan dari sebuah kebijakan.
Hal inilah yang dapat menjelaskan mengapa dalam pengelolaan hutan selama ini sering terjadi penyelewengan pelaksanaan regulasi, misalnya perusahaan IUPHHK-Alam (HPH) melakukan penebangan di luar areal kerjanya dan di luar blok RKT yang ditetapkan, menebang melebihi toleransi volume yang diperkenankan, menebang di bawah limit diameter yang ditetapkan, dan lain-lain. Juga termasuk penyimpangan dalam tataran teknis di lapangan, misalnya penyimpangan aturan TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia) misalnya tidak dilaksanakannya pembinaan hutan, penanaman tanah kosong, dan lain-lain.

Hutan Sebagai Sumber Daya Milik Umum
Hakikatnya, hutan adalah milik Allah, SWT yang diamanahkan kepada manusia untuk memelihara dan mengelolanya dengan sebaik-baiknya. Allah, SWT sebagai pencipta manusia dan seluruh alam raya ini berikut segala isinya termasuk hutan telah membekali manusia guna mengemban tugasnya di bumi dengan seperangkat aturan dan hukum yang jelas dan tegas yakni syariat Islam.
Islam telah memecahkan masalah kepemilikan hutan dengan tepat, yaitu hutan termasuk dalam kepemilikan umum. Tercakup dalam sektor ini adalah barang tambang, minyak, gas, listrik, dan sebagainya. Ketentuan ini didasarkan pada hadits Nabi saw. :
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal : dalam air, padang rumput dan api. Harga (memperjualbelikannya) adalah haram” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah). Begitu juga sabdanya : “Tiga hal yang tidak akan pernah dilarang (untuk dinikmati siapapun adalah air, padang rumput dan api.” (HR. Ibnu Majah).
Hadits ini menunjukkan bahwa tiga benda tersebut adalah milik umum, karena sama-sama mempunyai sifat tertentu sebagai ‘illat (alasan penetapan hukum), yakni menjadi hajat hidup orang banyak. Dengan demikian, hutan adalah milik umum, karena di-qiyas-kan atau dianalogkan dengan tiga benda di atas berdasarkan sifatnya yang sama dengan tiga benda tersebut, yaitu menjadi dan menguasai hajat hidup orang banyak.

Kewajiban Pengelolaan Hutan Hanya Oleh Negara
Dalam pandangan Islam, hutan adalah milik umum yang harus dikelola hanya oleh negara dimana hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer semisal pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum. Paradigma pengelolaan hutan milik umum yang berbasis swasta atau corporate based management harus dirubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh negara (state based management) dengan tetap berorientasi pada kelestarian sumber daya (sustainable resources principle).
Memang, dalam penjelasan Pasal 23 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dijelaskan bahwa hutan sebagai sumber daya nasional harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi masyarakat sehingga tidak boleh terpusat pada seseorang, kelompok atau golongan tertentu. Oleh karena itu pemanfaatan hutan harus didistribusikan secara berkeadilan melalui peningkatan peran serta masyarakat, sehingga masyarakat semakin berdaya dan berkembang potensinya. Hal ini mengindikasikan bahwa pengelolaan hutan boleh diserahkan kepada perorangan, kelompok atau golongan tertentu selama tidak terpusat atau dengan kata lain harus terdistribusi secara merata.
Ironisnya, penyerahan pengelolaan hutan oleh negara (dalam hal ini Pemerintah) kepada perorangan, koperasi atau badan usaha milik swasta, dianggap sebagai bentuk dari pengurusan hutan oleh Pemerintah. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 4 UU Nomor 41 Tahun 1999, dimana dijelaskan bahwa penguasaan hutan oleh negara memberikan wewenang kepada negara untuk mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan. Padahal, hutan adalah milik umum yang hanya boleh dikelola oleh negara.
Zallum (1983: 81-82) menerangkan ada dua cara pemanfaatan kepemilikan umum. Pertama : untuk benda-benda milik umum yang mudah dimanfaatkan secara langsung, seperti jalan umum, rakyat berhak memanfaatkannya secara langsung. Namun, disyaratkan tidak boleh menimbulkan bahaya (dharar) kepada orang lain dan tidak menghalangi hak orang lain untuk turut memanfaatkannya. Kedua : untuk benda-benda milik umum yang tidak mudah dimanfaatkan secara langsung serta membutuhkan keahlian, sarana atau dana besar untuk memanfaatkannya, seperti tambang gas, minyak, dan emas, hanya negaralah-sebagai wakil dari warga negara-yang berhak untuk mengelolanya. Rasulullah saw. bersabda : “Imam adalah ibarat penggembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya (rakyatnya)”. (HR. Muslim).
Atas dasar itu, pengelolaan hutan menurut Islam hanya boleh dilakukan oleh negara (Khalifah), sebab pemanfaatan atau pengelolaan hutan tidak mudah dilakukan oleh orang per orang serta membutuhkan keahlian, sarana, atau dana yang besar. Tetapi kemudian tidak berarti bahwa ketika ada seseorang, kelompok atau golongan tertentu yang memiliki keahlian, sarana atau dana dan kemampuan untuk melakukan pengelolaan hutan, lantas hutan dan segala hasil-hasilnya boleh diserahkan kepada mereka.
Dikecualikan dalam hal ini, pemanfaatan hutan yang mudah dilakukan secara langsung oleh individu (misalnya oleh masyarakat sekitar hutan) dalam skala terbatas di bawah pengawasan negara. Misalnya, pengambilan ranting-ranting kayu, atau penebangan pohon dalam skala terbatas, atau pemanfaatan hutan untuk berburu hewan liar, mengambil madu, rotan, buah-buahan dan air dalam hutan yang diyakini tidak akan menyebabkan terjadinya perubahan ekosistem yang berarti. Semua ini dibolehkan selama tidak menimbulkan bahaya dan tidak menghalangi hak orang lain untuk turut memanfaatkan hutan.

Pengawasan dan Penegakan hukum
Fungsi pengawasan operasional lapangan dijalankan oleh lembaga peradilan, yaitu Muhtasib (Qadhi hisbah) yang tugas pokoknya adalah menjaga terpeliharanya hak-hak masyarakat secara umum (termasuk pengelolaan hutan). Muhtasib, misalnya menangani kasus pencurian kayu hutan atau pembakaran dan perusakan hutan. Dalam bertugas, Muhtasib disertai aparat polisi (syurthah) yang berada di bawah wewenangnya. Muhtasib dapat bersidang di lapangan (hutan) dan menjatuhkan vonis di lapangan. Adapun fungsi pengawasan keuangan dijalankan oleh para Bagian Pengawasan Umum (Diwan Muhasabah Amah) yang merupakan bagian dari institusi Baitul Mal (Zallum, 1983).
Hal ini menunjukkan adanya hak bagi Negara untuk menjatuhkan sanksi ta’zir yang tegas atas segala pihak yang merusak hutan. Orang yang melakukan pembalakan liar, pembakaran hutan, penebangan di luar batas yang dibolehkan dan segala macam pelanggaran lainnya terkait hutan wajib diberi sanksi ta’zir yang tegas oleh negara (peradilan). Ta’zir ini dapat berupa denda, cambuk, penjara, bahkan sampai hukuman mati; bergantung pada tingkat bahaya dan kerugian yang ditimbulkannya. Prinsipnya, ta’zir harus sedemikian rupa menimbulkan efek jera agar kejahatan perusakan hutan tidak terjadi lagi dan hak-hak seluruh masyarakat dapat terpelihara. Seorang cukong illegal logging, misalnya, dapat digantung lalu disalib di lapangan umum atau disiarkan di stasiun TV nasional maupun TV swasta.
Disamping itu, Negara juga wajib mencegah segala bahaya (dharar) atau kerusakan (fasad) pada hutan. Dalam kaidah fikih dikatakan : “Segala bentuk kemadharatan atau bahaya itu wajib dihilangkan”. Lebih lanjut Nabi saw. bersabda : “Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun membahayakan orang lain”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah). Lebih tegas, Allah, SWT menekankan : “Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya.” (QS. Al-A’raf (7) : 56).
Ketentuan pokok ini mempunyai banyak sekali cabang peraturan teknis yang penting, antara lain, negara wajib mengadopsi sains dan teknologi yang dapat menjaga kelestarian hutan, misalnya teknologi konservasi dan sumber daya alam, sistem TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia) atau Tebang Jalur Tanam Konservasi (TJTK) atau TPTII (Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif) ataupun sistem silvikultur lainnya; negara wajib juga melakukan konservasi hutan, menjaga keanekaragaman hayati (biodiversity), melakukan penelitian dan pengembangan kehutanan, dan sebagainya.
Begitu juga penegakan hukum dalam pengelolaan hutan adalah suatu keniscayaan untuk mencegah perusakan sumber daya hutan dan pencemaran lingkungan. Perlunya rehabilitasi kawasan yang rusak dan pemeliharaan kawasan konservasi yang sudah ada, selain penetapan kawasan konservasi baru di wilayah tertentu serta peningkatan pengamanan terhadap perusakan sumber daya hutan secara partisipatif melalui kemitraan denagn masyarakat.

Hasil Pengelolaan Hutan dan Pendistribusiannya
Segala penghasilan dari pengelolaan hutan dan hasil hutan menjadi sumber pendapatan kas negara (Baitul Mal) dari sektor Kepemilikan Umum. Mengenai distribusi hasil hutan, negara tidak terikat dengan satu cara tertentu yang baku. Negara boleh mendistribusikan hasil hutan dalam berbagai cara sepanjang untuk kemaslahatan rakyat dalam bingkai syariat Islam. Kaidah fikih menyebutkan : “Kebijakan Imam/Khalifah dalam mengatur rakyatnya berpatokan pada asas kemaslahatan”.
Pemasukan dari sektor kepemilikan umum ini, hasilnya dapat digunakan untuk : pertama, biaya eksploitasi sumber daya hutan, mulai dari biaya tenaga kerja, pembangunan infrastruktur, penyediaan perlengkapan, dll. Kedua, dibagikan langsung kepada masyarakat yang pada dasarnya merupakan pemilik yang sah dari sumber daya hutan dimaksud. Amirul Mukminin (Khalifah) bisa membagikannya dalam bentuk benda yang memang diperlukan oleh masayarakat seperti listrik, air, pelayanan kesehatan, dan lain-lain secara gratis atau langsung dalam bentuk uang hasil penjualan. Ketiga, membangun berbagai sarana dan prasarana untuk kepentingan umum seperti jalan, taman, rumah sakit, sekolah, dll. Dan keempat, sebagian hasil kepemilikan umum itu dapat dialokasikan untuk biaya penyebaran risalah Islam (dakwah) dan jihad, gaji pegawai negeri, tentara dan sebagainya.

Penutup
Dengan memenuhi ketentuan syariat Islam terhadap status sumber daya hutan dan bagaimana sistem pengelolaannya, bisa didapat dua keuntungan sekaligus. Yaitu, diperolehnya sumber pemasukan anggaran belanja negara yang cukup besar untuk mencukupi berbagai kebutuhan negara. Dan selanjutnya diharapkan mampu melepaskan diri dari ketergantungan terhadap utang luar negeri dalam pembiayaan pembangunan negara yang telah terbukti secara nyata telah menyengsarakan rakyat negeri ini.
Pengelolaan hutan merupakan perkara yang sangat serius dan strategis. Degradasi pengelolaan hutan saat ini lebih banyak disebabkan kelalaian manusia dalam mengikuti kaidah-kaidah syariat Islam dan keberanian manusia dalam melabrak kaidah-kaidah tersebut dan menggantinya dengan kaidah-kaidah lain (kapitalisme) yang bukan bersumber dari Yang Maha Benar dan Maha Tahu. Akhirnya, kegagalan yang sampai detik ini kita rasakan.
Akhirnya, semoga tulisan ini dapat sedikit memberikan wawasan pembanding tentang siapa pemilik sebenarnya dari sumber daya hutan dan siapa yang seharusnya mengelolanya serta kegagalan sistem kapitalisme yang saat ini sedang kita terapkan dan aplikasikan di semua lapangan kehidupan. Dengan demikian harapan agar hutan yang pada dasarnya menjadi sumber kekayaan rakyat Indonesia dapat memberikan hasilnya yang nyata dirasakan oleh rakyat. Semoga kita tidak terjerembab dalam lubang yang sama untuk kesekian kalinya.


KEGAGALAN PENGELOLAAN HUTAN : BAGAIMANA SEHARUSNYA ?

Oleh :
Busran, S. Hut. *)

Sebagian besar hutan yang ada di Indonesia adalah hutan hujan tropis, yang tidak saja mengandung kekayaan hayati flora yang beraneka ragam, tetapi juga termasuk ekosistem terkaya di dunia. Indonesia memiliki kawasan hutan hujan tropis yang terbesar di Asia Pasifik, yaitu diperkirakan 1.148.400 kilometer persegi (Kelanajaya, 2002).

Hutan yang luasnya kurang lebih 60 % luas daratan Indonesia itu sebenarnya merupakan kekayaan alam yang sangat penting dan strategis, yang merupakan karunia pemberian Tuhan Yang Maha Kuasa dan oleh karena itu seharusnya dapat dimanfaatkan dan dikelola dengan sebaik-baiknya sebagai salah satu penghasil devisa negara bagi pembangunan nasional dewasa ini.

Pengelolaan Hutan Saat ini !

Kegiatan eksploitasi hutan secara besar-besaran dimulai sejak tahun 1970-an, yang dimulai dengan terbitnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan. Seiring dan sejalan dengan hal tersebut, diterbitkan pula Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), yang memberi ruang yang lebar bagi para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Selanjutnya diikuti pula dengan berbagai kebijakan yang memungkinkan para pengusaha besar untuk menguasai dan membabat hutan guna membesarkan modalnya, misalnya Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1970 tentang Pengusahaan Hutan, Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1990 tentang Hutan Tanaman Industri dan peraturan lainnya yang secara nyata tidak berpihak pada rakyat (Kelanajaya, 2002).
Menurut laporan Warta Ekonomi yang diterbitkan pada Agustus 1998, sebagian besar hutan Indonesia sampai sebelum reformasi sudah dikuasai oleh 12 grup perusahaan besar melalui 109 anak perusahaannya. Diantaranya, Grup Kayu Lapis menguasai 3,5 juta hektar hutan, Grup Djajanti Djaja menguasai 2,9 juta hektar, Grup Barito Pacific memegang 2,7 juta hektar, Grup Kalimanis menguasai 1,6 juta hektar, Alas Kusuma Grup menguasai 1,2 juta hektar, Sumalindo Grup dengan luas penguasaan 850.000 hektar, dan seterusnya. Meskipun saat ini, kondisi kepemilikian tersebut sudah banyak berubah karena banyak yang dinyatakan pailit dan atau menutup perusahaannya akibat terpaan krisis moneter tahun 1997 lalu.
Meski dalam Forest Agreement tidak menyebutkan bahwa penguasaan pengelolaan sumber daya alam (hutan) tersebut bukan dalam bentuk hak milik, namun yang berhak memiliki hasil bersih dari sumber daya hutan yang telah dieksploitasi tersebut tetaplah para pemegang sahamnya (setelah dikurangi biaya produksi, PSDH dan DR, pajak, gaji karyawan dan lain-lain). Sebagai contoh, sebagaimana dikutip Agustianto, 2005 dalam Al-Jawi, 2006, menurut laporan WALHI yang diterbitkan tahun 1993 saja, rata-rata hasil hutan Indonesia tiap tahunnya 2,5 miliar dolas AS. Pada tahun 2005 diperkirakan hasilnya mencapai sekitar 7-8 miliar dolar AS. Namun, menurut Sembiring (1994) sebagaimana dikutip Al-Jawi (2006), semua orang juga tahu, kini Indonesia menjadi negara bangkrut. Dari hasil hutan sejumlah itu, yang masuk ke dalam kas negara ternyata hanya 17 %, sedangkan yang 83 % masuk ke kantong pengusaha IUPHHK (dulu HPH) yang tidak bertanggung jawab.
Pengelolaan hutan dengan sistem HPH sebenarnya bukan asli Indonesia, melankan ditiru dari Belanda. Sistem pemberian HPH yang beratus tahun lalu sesungguhnya sudah dianggap salah oleh Belanda dan sangat merugikan rakyat itu, kemudian tepatnya tahun 1968 diterapkan oleh rezim Orde Baru. Saat itu pemerintah memang benar-benar sedang membutuhkan dana untuk biaya pembangunan sehingga hampir setengah dari seluruh luas hutan Indonesia yang 120 juta hektar itu diperkenankan untuk diambil kayunya (Yusanto, 2002).
Kemudian pada tahun 1999, UU Pokok Kehutanan Nomor 5 Tahun 1967 direvisi dengan UU Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999. Mengapa direvisi ? Sebab UU Nomor 5 Tahun 1967 itu hanya menekankan produksi (alias rakus). Lalu lahirlah UU Nomor 41 Tahun 1999 yang agak mendingan karena sudah memperhitungkan konservasi dan partisipasi masyarakat (Nurrochmat, 2005 dalam Al-Jawi, 2006).
Karena hanya menekankan produksi, wajar jika hutan Indonesia lalu dikelola seperti halnya pengelolaan tambang (minning management) sehingga aspek kelestarian berada pada titik terendah, sementara kegiatan penebangan berada pada titik tertinggi. Dampaknya ? Sangat jelas, akan mengakibatkan kerusakan hutan yang sangat dahsyat. PT. Inhutani, BUMN di bawah pengelolaan teknis Departemen Kehutanan, pernah meneliti bahwa eksploitasi hutan melalui pola HPH ternyata menimbulkan kerusakan hutan lebih dari 50 juta hektar. Kini areal kerusakan hutan mencapai 56,98 juta hektar.
Konflik kepentingan antara kehutanan dan pertambangan juga telah menyebabkan kawasan hutan lindung atau konservasi saat ini benar-benar sudah terancam keberadaannya diantaranya hutan lindung Pulau Gag-Papua yang sudah resmi menjadi lokasi proyek PT. Gag Nickel, Taman Hutan Raya Poboya-Paneki oleh PT. Citra Palu Mineral/Rio Tinto, Palu Sulawesi Tengah dan Taman Nasional Meru Betiri di Jember Jawa Timur oleh PT. Jember Metal, Banyuwangi Mineral dan PT. Hakman. Belum lagi ancaman terhadap kawasan konservasi lainnya yang hampir semuanya dijarah oleh perusahaan tambang, seperti Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi tengah oleh PT. Mandar Uli Minerals/Rio Tinto, Taman Nasional Kerinci Seblat oleh PT. Barisan Tropikal Mining dan Sari Agrindo Andalas, kawasan hutan lindung Cagar Alam Aketajawe dan Lalobata, Maluku Tengah oleh Weda Bay Minerals, hutan lindung Meratus Kalimantan Selatan oleh PT. Pelsart Resources NL dan Placer Dome, Taman Nasional Wanggameti oleh PT. BHP, Cagar Alam Nantu oleh PT. Gorontalo Minerals dan Taman Wisata Pulau Buhubulu oleh PT. Antam Tbk (Kelanajaya, 2002).
Walhasil, hutan yang semestinya menjadi sumber kekayaan rakyat Indonesia ternyata hasilnya nyaris tidak dirasakan oleh mayoritas rakyat karena mengalami kegagalan dalam pengelolaannya.

Sebab Kegagalan Pengelolaan Hutan

Irawan (2005) dalam Al-Jawi (2006) menyebutkan bahwa kegagalan pengelolaan hutan selama ini adalah akibat kesalahan pembuat kebijakan, termasuk penyelewengan pelaksanaan regulasi, dan penyimpangan dalam tataran teknis di lapangan. Kesalahan pembuat kebijakan tersebut berangkat dari satu asumsi bahwa hutan sebagai sumber daya nasional harus dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Atas dasar asumsi tersebut, yakni bahwa dalam rangka memperoleh manfaat yang optimal dari hutan dan kawasan hutan bagi kesejahteraan masyarakat, pada prinsipnya semua hutan dan kawasan hutan dapat dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan sifat, karateristik, dan kerentanannya serta tidak dibenarkan merubah fungsi pokoknya.
Pada dasarnya, asumsi tersebut sah-sah saja. Yang kemudian menjadi permasalahan adalah ketika pengelolaan dan pemanfaatan hutan dan kawasan hutan tersebut diserahkan sepenuhnya kepada pihak swasta atau pengusaha yang notabene mereka akan selalu menerapkan prinsip-prinsip ekonomi yang berakar dari sistem kapitalisme, ‘pengeluaran minimal untuk mendapatkan keuntungan maksimal’. Sehingga yang kemudian terjadi adalah mereka tidak akan sungkan untuk melakukan apapun untuk memuluskan segala kepentingannya guna mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, termasuk menyuap para pengambil kebijakan.
Selain itu, karakter kapitalisme yang individualis telah mewujud dalam sikap menomorsatukan kepemilikan individu (private property) sebagai premis ekonomi dalam kapitalisme (Heilbroner,1991 dalam Al-Jawi, 2006). Wajarlah jika dalam pengelolaan hutan, hutan dipandang sebagai milik individu, yakni milik pengusaha melalui pemberian HPH/IUPHHK yang diberikan oleh penguasa.
Selain mengutamakan kepemilikan individu, pendekatan kapitalisme yang utilitarian telah melahirkan sikap eksploitatif atas sumber daya alam seraya mengabaikan aspek moralitas (Heilbroner, 1991 dalam Al-Jawi, 2006). Utilitarianisme menilai baik buruknya suatu tindakan berdasarkan akibatnya bagi banyak orang. Tindakan publik tidak dinilai sebagai baik atau buruk berdasarkan nilai kebijakan atau tindakan itu sendiri. Pijakan obyektif yang digunakan adalah dengan melihat apakah suatu kebijakan atau tindakan publik tersebut membawa manfaat atau akibat yang berguna, atau sebaliknya membawa kerugian bagi orang-orang terkait. Artinya hanya sekedar mementingkan aspek kemanfaatan dari sebuah kebijakan.
Hal inilah yang dapat menjelaskan mengapa dalam pengelolaan hutan selama ini sering terjadi penyelewengan pelaksanaan regulasi, misalnya perusahaan IUPHHK-Alam (HPH) melakukan penebangan di luar areal kerjanya dan di luar blok RKT yang ditetapkan, menebang melebihi toleransi volume yang diperkenankan, menebang di bawah limit diameter yang ditetapkan, dan lain-lain. Juga termasuk penyimpangan dalam tataran teknis di lapangan, misalnya penyimpangan aturan TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia) misalnya tidak dilaksanakannya pembinaan hutan, penanaman tanah kosong, dan lain-lain.
Pengelolaan Hutan dalam Islam

Dalam pandangan Islam, hutan adalah milik umum yang harus dikelola hanya oleh negara dimana hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer semisal pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum. Paradigma pengelolaan hutan milik umum yang berbasis swasta atau corporate based management harus dirubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh negara (state based management) dengan tetap berorientasi kelestarian sumber daya (sustainable resources principle).
Berikut ini penulis mencoba memberikan beberapa batasan dan ketentuan-ketentuan syariah Islam terpenting terkait dengan pengelolaan hutan, diantaranya :

1. Hutan termasuk dalam kepemilikan umum, bukan kepemilikan individu atau negara.
Islam telah memecahkan masalah kepemilikan hutan dengan tepat, yaitu hutan termasuk dalam kepemilikan umum. Tercakup dalam sektor ini adalah barang tambang, minyak, gas, listrik, dan sebagainya. Ketentuan ini didasarkan pada hadits Nabi saw. :
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal : dalam air, padang rumput dan api” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah).
Hadits ini menunjukkan bahwa tiga benda tersebut adalah milik umum, karena sama-sama mempunyai sifat tertentu sebagai ‘illat (alasan penetapan hukum), yakni menjadi hajat hidup orang banyak. Termasuk milik umum adalah hutan, karena di-qiyas-kan atau dianalogkan dengan tiga benda di atas berdasarkan sifat yang sama dengan tiga benda tersebut, yaitu menjadi dan menguasai hajat hidup orang banyak.

2. Pengelolaan hutan hanya dilakukan oleh negara saja, bukan oleh pihak lain (misalnya swasta atau asing).
Dalam penjelasan Pasal 23 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dijelaskan bahwa hutan sebagai sumber daya nasional harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi masyarakat sehingga tidak boleh terpusat pada seseorang, kelompok atau golongan tertentu. Oleh karena itu pemanfaatan hutan harus didistribusikan secara berkeadilan melalui peningkatan peran serta masyarakat, sehingga masyarakat semakin berdaya dan berkembang potensinya. Hal ini mengindikasikan bahwa pengelolaan hutan boleh diserahkan kepada perorangan, kelompok atau golongan tertentu selama tidak terpusat atau dengan kata lain harus terdistribusi secara merata.
Ironisnya, penyerahan pengelolaan hutan oleh negara (dalam hal ini Pemerintah) kepada perorangan, koperasi atau badan usaha milik swasta, dianggap sebagai bentuk dari pengurusan hutan oleh Pemerintah. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 4 UU Nomor 41 Tahun 1999, dimana dijelaskan bahwa penguasaan hutan oleh negara memberikan wewenang kepada negara untuk mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan. Padahal, hutan adalah milik umum yang hanya boleh dikelola oleh negara.
Zallum (1983: 81-82) menerangkan ada dua cara pemanfaatan kepemilikan umum. Pertama : untuk benda-benda milik umum yang mudah dimanfaatkan secara langsung, seperti jalan umum, rakyat berhak memanfaatkannya secara langsung. Namun, disyaratkan tidak boleh menimbulkan bahaya (dharar) kepada orang lain dan tidak menghalangi hak orang lain untuk turut memanfaatkannya. Kedua : untuk benda-benda milik umum yang tidak mudah dimanfaatkan secara langsung serta membutuhkan keahlian, sarana atau dana besar untuk memanfaatkannya, seperti tambang gas, minyak, dan emas, hanya negaralah-sebagai wakil dari warga negara-yang berhak untuk mengelolanya. Rasulullah saw. bersabda :
“Imam adalah ibarat penggembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya (rakyatnya)”. (HR. Muslim).
Atas dasar itu, pengelolaan hutan menurut Islam hanya boleh dilakukan oleh negara (Khalifah), sebab pemanfaatan atau pengelolaan hutan tidak mudah dilakukan oleh orang per orang serta membutuhkan keahlian, sarana, atau dana yang besar. Tetapi kemudian tidak berarti bahwa ketika ada seseorang, kelompok atau golongan tertentu yang memiliki keahlian, sarana atau dana dan kemampuan untuk melakukan pengelolaan hutan, lantas hutan dan segala hasil-hasilnya boleh diserahkan kepada mereka.
Dikecualikan dalam hal ini, pemanfaatan hutan yang mudah dilakukan secara langsung oleh individu (misalnya oleh masyarakat sekitar hutan) dalam skala terbatas di bawah pengawasan negara. Misalnya, pengambilan ranting-ranting kayu, atau penebangan pohon dalam skala terbatas, atau pemanfaatan hutan untuk berburu hewan liar, mengambil madu, rotan, buah-buahan dan air dalam hutan. Semua ini dibolehkan selama tidak menimbulkan bahaya dan tidak menghalangi hak orang lain untuk turut memanfaatkan hutan.

3. Negara memasukkan segala penghasilan dari pengelolaan hutan dan hasil hutan ke dalam Baitul Mal (Kas Negara) dan mendistribusikan dananya sesuai dengan kemaslahatan rakyat dalam koridor hukum-hukum Islam.
Segala penghasilan dari pengelolaan hutan dan hasil hutan menjadi sumber pendapatan kas negara (Baitul Mal) dari sektor Kepemilikan Umum. Mengenai distribusi hasil hutan, negara tidak terikat dengan satu cara tertentu yang baku. Negara boleh mendistribusikan hasil hutan dalam berbagai cara sepanjang untuk kemaslahatan rakyat dalam bingkai syariah Islam. Kaidah fikih menyebutkan : “Kebijakan Imam/Khalifah dalam mengatur rakyatnya berpatokan pada asas kemaslahatan”.
Pemasukan dari sektor kepemilikan umum ini, hasilnya dapat digunakan untuk biaya eksploitasi sumber daya hutan, mulai dari biaya tenaga kerja, pembangunan infrastruktur, penyediaan perlengkapan. Juga dapat pula dibagikan langsung kepada masyarakat yang pada dasarnya merupakan pemilik dari sumber daya hutan dimaksud, bisa dalam bentuk benda yang memang diperlukan oleh masayarakat seperti listrik, air, pelayanan kesehatan, dan lain-lain secara gratis atau langsung dalam bentuk uang hasil penjualan.

4. Negara boleh melakukan kebijakan hima atas hutan tertentu untuk suatu kepentingan khusus.
Hima artinya kebijakan negara memanfaatkan suatu kepemilikan umum untuk suatu keperluan tertentu, misalnya untuk keperluan jihad fi sabilillah. Hal ini didasarkan pada hadits bahwa Rasulullah saw. telah melakukan hima atas Naqi’ (nama padang gembalaan dekat Madinah) untuk kuda-kuda perang milik kaum Muslim (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban).
Maka dari itu, negara boleh menetapkan hutan Kalimantan, misalnya, sebagai hima khusus untuk pendanaan jihad fi sabilillah. Sehingga, kegiatan apapun yang dilakukan di dalam kawasan hutan Kalimantan hanyalah aktivitas yang ada hubungannya dengan jihad fi sabilillah atau setiap hasil hutan yang diambil dari sana hanya boleh dimanfaatkan untuk jihad fi sabilillah. Tidak boleh hasilnya untuk gaji dinas kehutanan atau untuk membeli mesin dan sarana kehutanan, atau keperluan apapun di luar kepentingan jihad fi sabillah.
Hal tersebut, sama halnya dengan kondisi saat ini dimana terdapat kawasan hutan tertentu yang ditetapkan untuk hutan lindung, kawasan konservasi, hutan penelitian, dan lain-lain. Seharusnya kawasan tersebut tidak boleh lagi dimanfaatkan untuk keperluan lain di luar kepentingan yang telah ditetapkan tersebut, terlebih lagi bila perubahan fungsi kawasan hutan tersebut menimbulkan bahaya bagi manusia dan lingkungan serta membatasi hak orang lain untuk memanfaatkan hasil dari hutan tersebut.

5. Negara wajib melakukan pengawasan terhadap hutan dan pengelolaan hutan.
Fungsi pengawasan operasional lapangan dijalankan oleh lembaga peradilan, yaitu Muhtasib (Qadhi hisbah) yang tugas pokoknya adalah menjaga terpeliharanya hak-hak masyarakat secara umum (termasuk pengelolaan hutan). Muhtasib, misalnya menangani kasus pencurian kayu hutan atau pembakaran dan perusakan hutan. Dalam bertugas, Muhtasib disertai aparat polisi (syurthah) yang berada di bawah wewenangnya. Muhtasib dapat bersidang di lapangan (hutan) dan menjatuhkan vonis di lapangan. Adapun fungsi pengawasan keuangan dijalankan oleh para Bagian Pengawasan Umum (Diwan Muhasabah Amah) yang merupakan bagian dari institusi Baitul Mal (Zallum, 1983).
Hal ini menunjukkan adanya hak bagi Negara untuk menjatuhkan sanksi ta’zir yang tegas atas segala pihak yang merusak hutan. Orang yang melakukan pembalakan liar, pembakaran hutan, penebangan di luar batas yang dibolehkan dan segala macam pelanggaran lainnya terkait hutan wajib diberi sanksi ta’zir yang tegas oleh negara (peradilan). Ta’zir ini dapat berupa denda, cambuk, penjara, bahkan sampai hukuman mati; bergantung pada tingkat bahaya dan kerugian yang ditimbulkannya. Prinsipnya, ta’zir harus sedemikian rupa menimbulkan efek jera agar kejahatan perusakan hutan tidak terjadi lagi dan hak-hak seluruh masyarakat dapat terpelihara. Seorang cukong illegal logging, misalnya, dapat digantung lalu disalib di lapangan umum atau disiarkan di stasiun TV nasional maupun TV swasta.

6. Negara wajib mencegah segala bahaya (dharar) atau kerusakan (fasad) pada hutan.
Dalam kaidah fikih dikatakan : “Segala bentuk kemadharatan atau bahaya itu wajib dihilangkan”.
Nabi saw. bersabda :
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun membahayakan orang lain”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Ketentuan pokok ini mempunyai banyak sekali cabang peraturan teknis yang penting, antara lain, negara wajib mengadopsi sains dan teknologi yang dapat menjaga kelestarian hutan, misalnya teknologi konservasi dan sumber daya alam, sistem TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia) atau Tebang Jalur Tanam Konservasi (TJTK) ataupun sistem silvikultur lainnya; negara wajib juga melakukan konservasi hutan, menjaga keanekaragaman hayati (biodiversity), melakukan penelitian dan pengembangan kehutanan, dan sebagainya.

Penutup

Jelas sekali, pemerintah (negara) harus memanfaatkan seoptimal mungkin sumber daya hutan negeri ini yang sesungguhnya sangat melimpah itu. Harus ada strategi baru dalam mengelola hutan ini. Sudah saatnya, misalnya hanya BUMN yang berhubungan dengan hutan saja yang mengelola hutan yang ada di negeri ini. Penyerahan pengelolaan hutan kepada pihak swasta (asing maupun dalam negeri) adalah merupakan kesalahan besar yang harus dibayar mahal. Pendapatan yang didapat dari PSDH dan DR atau pajak lainnya masih terlalu kecil bila dibandingkan dengan nilai hasil hutan yang sebenarnya. Andai hal tersebut bisa sepenuhnya dikelola oleh negara maka dana yang tidak sedikit tersebut tentu bisa diselamatkan untuk kesejahteraan rakyat.
Pengelolaan hutan seoptimal mungkin hanya dapat dilakukan jika BUMN yang menangani semua kekayaan milik umum tadi dikelola secara profesional dan amanah. Sudah jadi rahasia umum, bila dalam tubuh BUMN-BUMN selama ini terjadi inefisiensi yang luar biasa akibat praktek kolusi dan korupsi. Akibatnya, alih-alih membuat rakyat sejahtera, BUMN-nya yang malah merugi.
Pengelolaan hutan merupakan perkara yang sangat serius dan strategis. Degradasi pengelolaan hutan saat ini lebih banyak disebabkan kelalaian manusia dalam mengikuti kaidah-kaidah syariah Islam dan keberanian manusia dalam melabrak kaidah-kaidah tersebut dan menggantinya dengan kaidah-kaidah lain (kapitalisme) yang bukan bersumber dari Zat Yang Maha Benar dan Maha Tahu. Akhirnya, kegagalanlah yang sampai detik ini kita rasakan.
Akhirnya, semoga tulisan ini dapat sedikit memberikan wawasan pembanding tentang bagaimana seharusnya hutan dikelola dan siapa yang harus mengelolanya serta kegagalan sistem kapitalisme yang saat ini sedang kita terapkan dan aplikasikan di semua lapangan kehidupan. Dengan demikian harapan agar hutan yang pada dasarnya menjadi sumber kekayaan rakyat Indonesia dapat memberikan hasilnya yang nyata dirasakan oleh rakyat. Semoga kita tidak terjerembab dalam lubang yang sama untuk kesekian kalinya. Mari bersama kita benahi, sebelum hutan benar-benar “hilang” dari muka bumi.

Daftar Pustaka
Al-Jawi, M. Siddiq, “Mengelola Hutan Sesuai Syariah”, Majalah Al-Wa’ie. Hizbut Tahrir Indonesia. September 2006
Imam Asy-Syaukani, Nail al-Awthar, (Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000) 1139-1140.
Kelanajaya, Tun, SE, “Ada Apa dengan Pengelolan Sumber Daya Alam Indonesia” Makalah dalam Anonim, Bunga Rampai Syariat Islam (Jakarta : Hizbut Tahrir Indonesia, 2002).
Yusanto, Muhammad Ismail, “Pengelolaan Sumber Daya Alam Dalam Perspektif Islam” Makalah dalam Anonim, Bunga Rampai Syariat Islam (Jakarta : Hizbut Tahrir Indonesia, 2002).
Zallum, Abdul Qadim, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, (Beirut : Darul Ilmi lil Malayin, 1983).


19 Februari 2009

Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA)

Makna dan Kepemilikan SDA

Sumber Daya Alam (biasa disingkat SDA) adalah segala sesuatu yang berasal dari alam yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Secara teoritis, SDA dibagi menjadi dua yaitu SDA yang dapat diperbarui dan SDA yang tidak dapat diperbarui. SDA yang dapat diperbarui meliputi air, tanah, tumbuhan dan hewan.



Makna dan Kepemilikan SDA

Sumber Daya Alam (biasa disingkat SDA) adalah segala sesuatu yang berasal dari alam yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Secara teoritis, SDA dibagi menjadi dua yaitu SDA yang dapat diperbarui dan SDA yang tidak dapat diperbarui. SDA yang dapat diperbarui meliputi air, tanah, tumbuhan dan hewan. SDA ini harus dijaga kelestariannya agar tidak merusak keseimbangan ekosistem. Sementara, SDA yang tidak dapat diperbarui itu contohnya barang tambang yang ada di bumi seperti pasir laut, emas, minyak bumi, batu bara, timah dan nikel. Dilihat dari tempatnya SDA terkandung dalam hutan, pantai, laut, dll.

Pengelolaan SDA tergantung pada jenis kepemilikannya. Ada tiga jenis kepemilikan yang dikenal dalam syariat Islam, yaitu kepemilikan pribadi, kepe-milikan negara, dan kepemilikan umum. Kepemilikan pribadi merupakan kepe-milikan yang dapat dimiliki secara individual seperti rumah, mobil, sawah, dll. Pemilikan negara merupakan pemi-likan pribadi yang merupakan aset negara, seperti kantor pemerintahan, mobil inventaris, dll. Sedangkan, pemili-kan umum merupakan pemilikan yang merupakan milik semua rakyat, bukan milik pribadi dan bukan pula milik negara. Semua bentuk pemilikan umum tidak boleh dikuasai secara individual, baik perorangan ataupun perusahaan. Pengelolaan pemi-likan umum diwakilkan kepada negara yang hasilnya dikembalikan kepada rakyat sebagai pemiliknya.

Rasulullah SAW bersabda, ”Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api. Harga (menjual-belikannya) adalah haram” (HR Abu Dawud). Begitu juga sabdanya, “Tiga hal yang tidak akan pernah dilarang (untuk dinikmati siapapun) adalah air, padang rumput dan api” (HR. Ibnu Majah). Berdasarkan hal ini, air (laut, sungai, danau, dll), padang rumput (hutan), dan api (bahan bakar minyak, batu bara, gas, listrik, dan sumber energi lainnya) merupakan milik ber-sama. Karenanya, termasuk dalam pemi-likan umum. Kata 'berserikat (syuroka)' menunjukkan tidak boleh dikuasai secara pribadi, tidak boleh diprivatisasi.

Imam at-Turmidzi dari Abyadh bin Hamal meriwayatkan Abyadh pernah meminta kepada Rasul untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul meluluskan permintaan itu, tetapi segera diingatkan oleh seorang sahabat, "Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (ma'u al-'iddu)." Rasulullah pun kemudian bersabda, "Tariklah tam-bang tersebut darinya." Tentu saja hadits itu tidak sedang berbicara tambang garam semata, melainkan sedang bicara segala sesuatu yang melimpah 'bagaikan air mengalir'. Buktinya, Rasulullah awalnya memberikannya tapi setelah dijelaskan jumlahnya bagaikan air beliau membatal-kannya.Penarikan kembali pemberian rasul kepada Abyadh adalah 'illat dari larangan atas sesuatu yang menjadi milik umum --termasuk dalam hal ini barang tambang yang kandungannya sangat banyak-- untuk dimiliki individu. Dalam hadits yang dituturkan dari Amr bin Qais lebih jelas lagi disebutkan bahwa yang dimaksud dengan garam di sini adalah tambang garam (ma'dan al-milh).

Menurut konsep kepemilikan dalam sistem ekonomi Islam, tambang yang jumlahnya sangat besar, baik yang tampak sehingga bisa didapat tanpa harus bersusah payah --seperti garam, batu-bara, pasir laut, dan sebagainya-- ataupun tambang yang berada di dalam perut bumi yang tidak bisa diperoleh kecuali dengan usaha keras --seperti tambang emas, perak, besi, tembaga, timah dan sejenis-nya-- baik berbentuk padat semisal kristal ataupun berbentuk cair, semisal minyak, termasuk milik umum. Artinya semuanya adalah tambang yang termasuk dalam pengertian hadits di atas.

Al-'Assal dan Karim (1999: 72-73), mengutip pendapat Ibn Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni mengatakan: ”Ba-rang-barang tambang yang oleh manu-sia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya, seperti halnya garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), petroleun, intan, dan lain-lain, tidak boleh dipertahankan selain oleh seluruh kaum Muslim (milik semua), sebab hal tersebut akan merugikan mereka”.



Pengelolaan SDA ala Islam

Hakikatnya, alam adalah milik Allah SWT yang diamanahkan kepada manusia untuk mengelolanya. Sumber daya alam yang merupakan milik umum harus dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat sebagai pemiliknya. Berdasarkan hal ini, ada beberapa prinsip dalam pengelolaan SDA. Pertama, SDA milik umum merupakan milik bersama dan untuk ber-sama. Karenanya, tidak boleh dikuasai oleh individu atau kelompok. Paradigma pengelolaan SDA milik umum yang berbasis swasta (corporate based mana-gement) diubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh negara (state based management) dengan tetap ber-orientasi kelestarian sumber daya (sustainable resources principle). Ba-rang-barang seperti minyak, gas, emas, nikel, laut, air, hutan, dll semuanya harus dalam manajemen negara. Tidak boleh diprivatisasi. Tidak dibenarkan laut, hutan, pantai, dan milik umum lainnya dikapling-kapling untuk perusahaan swasta. Perusahaan swasta boleh diser-takan sebagai kontraktor, misalnya, atau kerjasama namun tetap penguasaan dan kebijakannya ada pada perusahaan negara.

Kedua, hasil hutan dan barang tam-bang serta milik umum lainnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer (sandang, papan dan pangan) serta kebutuhan pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum. Pendapat-an dari pengelolaan SDA milik umum ini masuk ke dalam pos pendapatan negara yang dikembalikan pada rakyat. Bila harta milik umum tidak dikembalikan kepada rakyat, ini merupakan pengkhianatan, sebab berarti merampas harta dari pemiliknya yang sah.

Ketiga, dalam pengelolaan, eksplorasi dan eksploitasi SDA harus memper-hatikan kelestarian alam dan lingkungan serta keberlanjutan pembangunan. Pe-ngelolaan SDA, baik yang dapat diper-barui maupun yang tidak dapat diper-barui, harus memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dan sosial budaya masyarakat, untuk men-capai efisiensi secara ekonomis dan ekologis (ekoefisiensi) dengan menerap-kan teknologi dan cara yang ramah lingkungan. Penegakan hukum merupa-kan suatu keniscayaan dalam pengelolaan SDA untuk menghindari perusakan SDA dan pencemaran lingkungan. Perlu senantiasa dilakukan rehabilitasi kawas-an rusak dan pemeliharaan kawasan konservasi yang sudah ada, penetapan kawasan konservasi baru di wilayah tertentu serta peningkatan pengamanan terhadap perusakan SDA secara partisi-patif melalui kemitraan masyarakat. Ibnu Chaldun menyatakan bahwa manusia harus memanfaatkan kekayaan alam untuk kemaslahtan manusia dengan tetap menjaga kelestariannya. Abu Yusuf, Ma-wardi dan Abu Ya'la menegaskan agar tidak membiarkan kekayaan alam tidak termanfaatkan. Lebih dari itu, banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang melarang manusia berbuat kerusakan di muka bumi. Untuk itu, pengelolaan SDA memerlukan orang-orang yang profe-sional dan amanah.



Penggunaan Hasil SDA

Dengan memahami ketentuan syariat Islam terhadap status sumber daya alam dan bagaimana sistem pengelolaannya bisa didapat dua keuntungan sekaligus, yakni didapatnya sumber pemasukan bagi anggaran belanja negara yang cukup besar untuk mencukupi berbagai kebutuhan negara dan dengan demikian diharapkan mampu melepaskan diri dari ketergan-tungan terhadap utang luar negeri bagi pembiayaan pembangunan negara.

Pemasukan negara antara lain diper-oleh dari sektor kepemilikan individu, seperti melalui zakat, infak dan sodakoh. Selain itu, diperoleh dari sektor kepe-milikan negara seperti fa'i, ghanimah, kharaj, rikaz, 10% tanah usyriyah, jizyah, waris yang tidak ada ahli warisnya, dan lain-lain. Pemasukan lainnya dari sektor kepemilikan umum. Tercakup dalam sektor ini semua hasil SDA milik umum berupa barang tambang, minyak, gas, listrik, hasil hutan, pasir laut, dan lain-lain.

Pemasukan sektor pemilikan umum digunakan untuk: (1) biaya eksplorasi dan eksploitasi SDA, mulai dari biaya tenaga kerja, infrastruktur, dan hal-hal terkait; (2) Membagikan hasilnya secara langsung kepada masyarakat yang memang sebagai pemilik SDA tersebut. Khalifah boleh membagikannya dalam bentuk benda yang memang diperlukan seperti air, gas, minyak, dan listrik secara gratis; atau dalam bentuk uang hasil penjualan untuk meningkatkan usaha kecil dan menengah. (3) Membangun kepentingan umum seperti jalan, taman, dll. (4) Sebagian hasil kepemilikan umum ini dapat dialokasikan untuk biaya dakwah dan jihad, gaji pegawai negeri, tentara, dan sebagainya. (mr kurnia)