23 Maret 2009

Pedoman Singkat Penilaian Kinerja PPHH

Oleh : Busran


PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2007 jo. PP Nomor 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 87/Kpts-II/2003 tentang Pengukuran dan Pengujian Hasil Hutan di Indonesia disebutkan bahwa untuk melindungi hak-hak negara yang berkenaan dengan hasil hutan, maka semua hasil hutan yang berasal dari hutan negara dilakukan pengukuran dan pengujian oleh petugas yang berwenang. Hasil kegiatan pengukuran pengujian dimaksud dituangkan ke dalam dokumen tata usaha hasil hutan (TUHH) yang berfungsi sebagai alat pengendalian peredaran hasil hutan, sehingga sumberdaya alam berupa hutan dapat dijaga kelestariannya.


Pelaksanaan kegiatan pengukuran dan pengujian hasil hutan harus dilakukan dengan baik dan benar, untuk itu harus didukung oleh kinerja yang baik dari pelaksana pengukuran dan pengujian hasil hutan tersebut. Guna meningkatkan kinerja pelaksanaan pengukuran dan pengujian hasil hutan maka Penguji maupun Pengawas Penguji harus senantiasa meningkatkan profesionalismenya dengan meningkatkan kemampuan dalam pelaksanaan tugas serta tanggap terhadap perkembangan yang ada di lapangan.

Kinerja Pengawas Penguji Hasil Hutan harus dipantau perkembangannya dan dinilai secara periodik untuk dapat menentukan layak tidaknya yang bersangkutan masih dapat diberi tugas sebagai Pengawas Penguji Hasil Hutan.

Tulisan ini merupakan uraian detail teknis pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengawas Penguji Hasil Hutan (PPHH) baik yang ditugaskan maupun yang tidak ditugaskan sebagai pejabat/petugas penatausahaan hasil hutan oleh tenaga teknis/staf BP2HP Wilayah XI Banjarbaru. Berkenaan dengan kepentingan keseragaman dan obyektivitas pelaksanaan Penilaian Kinerja PPHH, maka perlu disusun Pedoman Singkat Penilaian Kinerja Pengawas Penguji Hasil Hutan untuk digunakan sebagai standar kerja dalam pelaksanaan Penilaian Kinerja PPHH.

B. Maksud dan Tujuan

Pedoman Singkat Penilaian Kinerja Pengawas Penguji Hasil Hutan disusun dengan maksud untuk memberikan keseragaman dan kesamaan pemahaman terhadap pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengawas Penguji Hasil Hutan agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Adapun tujuan penyusunan Pedoman Singkat ini adalah agar pelayanan pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengawas Penguji Hasil Hutan dapat dilaksanakan secara optimal.

C. Ruang Lingkup

Kegiatan Penilaian Kinerja yang diatur dalam Pedoman Singkat ini adalah meliputi penilaian kinerja terhadap Pengawas Penguji Hasil Hutan (PPHH) baik yang ditugaskan sebagai pejabat/petugas penatausahaan hasil hutan dalam hal ini Pejabat Pengesah Laporan Hasil Penebangan/Pejabat Pengesah Laporan Produksi Hasil Hutan Bukan Kayu (P2LHP/P2LP-HHBK), Petugas Pemeriksa Penerimaan Kayu Bulat (P3KB) dan Pejabat Penerbit Surat Keterangan Sahnya Kayu Bulat (P2SKSKB) maupun yang tidak ditugaskan sebagai pejabat/petugas penatausahaan hasil hutan di dalam wilayah kerja BP2HP Wilayah XI Banjarbaru.


KETENTUAN UMUM

A. Dasar Hukum

Dasar-dasar hukum yang berkaitan dengan kegiatan Penilaian Kinerja Pengawas Penguji Hasil Hutan, antara lain :

1. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002 tentang Dana Reboisasi;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan;
5. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 557/Kpts-II/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi;
6. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 87/Kpts-II/2003 tentang Pengukuran dan Pengujian Hasil Hutan di Indonesia;
7. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2006 tentang Penatausahaan Hasil Hutan yang Berasal dari Hutan Negara Jo. P.63/Menhut-II/2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2006 tentang Penatausahaan Hasil Hutan yang Berasal dari Hutan Negara;
8. Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor P.03/VI-BPPHH/2005 tentang Penilaian Kinerja Penguji Hasil Hutan dan Pengawas Penguji Hasil Hutan.


B. Pengertian-Pengertian

1. Penguji Hasil Hutan (PHH) adalah petugas kehutanan tertentu dan atau petugas perusahaan yang diberikan tugas dan wewenang untuk melaksanakan pengukuran dan pengujian hasil hutan.
2. Pengawas Penguji Hasil Hutan (PPHH) adalah petugas kehutanan tertentu atau petugas kehutanan yang berada di Perhutani yang diberikan tugas dan wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap pekerjaan dan hasil kerja penguji hasil hutan.
3. Kinerja adalah tampilan obyektif dari kompetensi di bidang pengukuran dan pengujian hasil hutan berupa nilai kuantitatif dan kualitatif yang diukur mulai dari persiapan kerja, proses kerja dan hasil kerja.
4. Kompetensi adalah gabungan pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik) dan sikap (normatif) spesifik yang diharapkan dari seseorang dalam melaksanakan fungsi, posisi dan perannya sebagai tenaga teknis pengukuran dan pengujian hasil hutan.
5. Kriteria Penilaian Kinerja adalah unsur-unsur penting yang berpengaruh terhadap kinerja.
6. Bobot nilai adalah suatu nilai yang menggambarkan tingkat prestasi kinerja di lapangan yang dicapai oleh Pengawas dan Penguji Hasil Hutan untuk masing-masing indikator.
7. Perusahaan adalah pemegang ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) pada hutan alam dan hutan tanaman, ijin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (IUPHHBK), ijin pemungutan hasil hutan kayu (IPHHK), ijin pemungutan hasil hutan bukan kayu (IPHHBK), ijin industri primer hasil hutan kayu dan bukan kayu.
8. Direktur Jenderal adalah direktur jenderal yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang bina produksi kehutanan.
9. Dinas provinsi adalah dinas yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang kehutanan di daerah provinsi.
10. Dinas kabupaten/kota adalah dinas yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang kehutanan di daerah kabupaten/kota.
11. Balai adalah Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi sesuai dengan wilayah kerjanya dan bertanggung jawab kepada direktorat jenderal di bidang bina produksi kehutanan.

C. Maksud dan Tujuan Penilaian Kinerja

Maksud kegiatan Penilaian Kinerja Pengawas Penguji Hasil Hutan (PPHH) adalah :
a. Melaksanakan penilaian terhadap kemampuan PPHH untuk menerapkan (memperagakan) pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan kualifikasi yang dimiliki.
b. Mengetahui kadar integritas moral, disiplin, tanggung jawab dan kemampuan teknis Pengawas Penguji Hasil Hutan.

Adapun tujuan Penilaian Kinerja Pengawas Penguji Hasil Hutan (PPHH) yaitu :
a. Sebagai bahan pertimbangan dalam proses perpanjangan Kartu Pengawas Penguji Hasil Hutan.
b. Bahan pengembangan profesi dan pembinaan terhadap tenaga Pengawas Penguji Hasil Hutan.
c. Bahan pertimbangan teknis atau kelayakan dalam penempatan tugas di bidang pengujian hasil hutan.

D. Tugas, Fungsi dan Tanggung Jawab PPHH

Tugas pokok Pengawas Penguji Hasil Hutan secara umum adalah melakukan pemeriksaan pengujian hasil hutan secara sample terhadap hasil pengujian yang dilakukan oleh Penguji Hasil Hutan.

1. Pejabat Pengesah Laporan Hasil Penebangan/Pejabat Pengesah Laporan Produksi Hasil Hutan Bukan Kayu (P2LHP/P2LP-HHBK)

a. Tugas
- Melakukan pemeriksaan administrasi pembuatan LHP-KB/LHP-KBK/LP-HHBK.
- Melakukan pemeriksaan fisik atas KB/HHBK yang akan di LHP/LP kan.
- Melakukan pengecekan hasil penebangan/ pemanenan/pemungutan hasil hutan pada lokasi penebangan/pemanenan/pemungutan.
- Mengesahkan LHP-KB.
- Membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) pada setiap pengesahan.

b. Fungsi
Mengendalikan penebangan/pemanenan/ pemungutan dan pengukuran dan pengujian hasil hutan pada lokasi-lokasi yang ditetapkan berdasarkan ijin yang sah.

c. Tanggung Jawab
- Bertanggung jawab terhadap kebenaran administrasi dan fisik dari LHP-KB/LHP-KBK/LP-HHBK yang disahkannya.
- Secara struktural bertanggung jawab kepada Kepala Dinas Kab./Kota dan Kepala Dinas Propinsi yang membidangi kehutanan.

2. Petugas Pemeriksa Penerimaan Kayu Bulat (P3KB)

a. Tugas
- Membuat buku register penerimaan hasil hutan.
- Melakukan pemeriksaan administrasi berupa kebenaran isi dokumen SKSKB/FA-KB.
- Melakukan pemeriksaan fisik atas hasil hutan yang diterima atau yang akan diangkut sesuai ketentuan yang berlaku.
- Menandatangani dan mematikan semua SKSKB/FA-KB atas KB/KBK yang masuk.
- Membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) pada setiap penerimaan hasil hutan atau bila ditemukan adanya penerimaan hasil hutan tanpa dilengkapi dokumen angkutan, maka yang bersangkutan membuat laporan kepada Kepala Dinas Kab./Kota dan Kepala Dinas Provinsi yang membidangi kehutanan untuk dilakukan tindakan pengamanan dan proses tindak lanjut sesuai ketentuan.

b. Fungsi
Mengendalikan penerimaan hasil hutan pada lokasi-lokasi yang diharapkan berdasarkan ijin yang sah.

c. Tanggung Jawab
- Secara aktif memantau KB/KBK yang masuk/tiba di lokasi TPK Antara / Industri pada wilayah kerja masing-masing.
- Secara struktural bertanggung jawab kepada Kepala Dinas Kab./Kota dan Kepala Dinas Propinsi yang membidangi kehutanan.

3. Pejabat Penerbit Surat Keterangan Sahnya Kayu Bulat (P2SKSKB)

a. Tugas
- Melayani permohonan pemegang ijin atau perorangan untuk menerbitkan SKSKB sesuai ketentuan yang berlaku.
- Melakukan pemeriksaan fisik atas kayu bulat yang dimohonkan untuk diangkut dengan hasil pemeriksaan dituangkan ke dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
- Membuat buku register penerimaan, persediaan dan penerbitan SKSKB.
- Membuat laporan dan daftar penerbitan SKSKB.

b. Fungsi
Berfungsi sebagai penanggung jawab penerbitan SKSKB dalam pengendalian peredaran hasil hutan agar hasil hutan yang beredar benar-benar berasal dari perijinan yang sah.

c. Tanggung Jawab
- Bertanggung jawab terhadap kebenaran administrasi dan fisik dari DKB yang disahkannya dan SKSKB yang diterbitkannya.
- Bertanggung jawab langsung kepada Kepala Dinas Propinsi atau Kepala Dinas Kab./Kota yang membidangi kehutanan asal instansi P2SKSKB.

E. Kriteria dan Bobot Penilaian

1. Kriteria dan Bobot Penilaian Kinerja PPHH yang ditugaskan sebagai Petugas/Pejabat Penatausahaan Hasil Hutan, terdiri dari :
1. Pemahaman dan penguasaan peraturan dengan bobot 25 %, yang terdiri dari ;
- Pemahaman dan penguasaan teori pengenalan jenis hasil hutan dengan bobot 25 %.
- Pemahaman dan penguasaan teori pengenalan cacat hasil hutan dengan bobot 15 %.
- Pemahaman dan penguasaan teori pengukuran hasil hutan dengan bobot 25 %.
- Pemahaman dan penguasaan teori pengujian hasil hutan dengan bobot 15 %.
- Pemahaman dan penguasaan peraturan penatausahaan hasil hutan dengan bobot 20 %.

2. Keterampilan dan ketepatan menggunakan alat ukur dengan bobot 25 %, yang terdiri dari ;
- Kelengkapan peralatan pengukuran dan pengujian dengan bobot 35 %.
- Keterampilan dan ketepatan menggunakan peralatan pengenalan jenis hasil hutan dengan bobot 30 %.
- Keterampilan dan ketepatan menggunakan peralatan pengukuran hasil hutan dengan bobot 25 %.
- Keterampilan dan ketepatan menggunakan peralatan pengujian hasil hutan dengan bobot 10 %.

3. Pelaporan dengan bobot 20 %, yang terdiri dari ;
- Menyampaikan laporan kegiatan bulanan dengan bobot 60 %.
- Kelengkapan penyampaian laporan kegiatan bulanan dengan bobot 20 %.
- Kebenaran cara pengisian laporan dengan bobot 20 %.

Penilaian terhadap pembuatan dan penyampaian laporan kegiatan triwulan dan tahunan sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor P.03/VI-BPPHH/2005 tanggal 3 Mei 2005 tentang Penilaian Kinerja Penguji Hasil Hutan dan Pengawas Penguji Hasil Hutan tidak dapat dilakukan karena belum adanya dasar hukum berupa peraturan perundangan yang mewajibkan PPHH untuk membuat laporan triwulan dan tahunan serta melaporkan hal tersebut pada BP2HP Wilayah XI Banjarbaru, demikian pula halnya dengan laporan khusus/temuan tidak dapat dilakukan penilaian, disamping karena sifat laporan dimaksud yang sangat rahasia.

4. Pengembangan profesi dengan bobot 5 %, yang terdiri dari :
- Mengikuti diklat/penyegaran di bidang pengukuran dan pengujian hasil hutan atau bidang kehutanan lainnya dengan bobot 50 %.
- Mengikuti seminar/sosialisasi/pembahasan di bidang pengukuran dan pengujian hasil hutan atau bidang kehutanan lainnya dengan bobot 50 %.

5. Pelanggaran dengan bobot 10 %, yang terdiri dari ;
- Teguran tertulis dengan bobot 30 % .
- Pelanggaran administratif dengan bobot 30 %.
- Pelanggaran pidana atau pelanggaran lainnya dengan bobot 40 %.

6. Presensi pada lokasi tugas dengan bobot 15 %

2. Kriteria dan Bobot Penilaian Kinerja PPHH yang tidak ditugaskan sebagai Petugas/Pejabat Penatausahaan Hasil Hutan, terdiri dari :
a. Pemahaman dan penguasaan peraturan dengan bobot 30 %
- Pemahaman dan penguasaan teori pengenalan jenis hasil hutan dengan bobot 25 %.
- Pemahaman dan penguasaan teori pengenalan cacat hasil hutan dengan bobot 15 %.
- Pemahaman dan penguasaan teori pengukuran hasil hutan dengan bobot 25 %.
- Pemahaman dan penguasaan teori pengujian hasil hutan dengan bobot 15 %.
- Pemahaman dan penguasaan peraturan penatausahaan hasil hutan dengan bobot 20 %.

b. Keterampilan menggunakan alat ukur dengan bobot 30 %
- Kelengkapan peralatan pengukuran dan pengujian dengan bobot 35 %
- Keterampilan dan ketepatan menggunakan peralatan pengenalan jenis hasil hutan dengan bobot 30 %
- Keterampilan dan ketepatan menggunakan peralatan pengukuran hasil hutan dengan bobot 25 %
- Keterampilan dan ketepatan menggunakan peralatan pengujian hasil hutan dengan bobot 10 %

c. Pelaporan dengan bobot 15 %
- Menyampaikan laporan kegiatan bulanan dengan bobot 80 %
- Kebenaran cara pengisian laporan dengan bobot 20 %

Penilaian terhadap pembuatan dan penyampaian laporan khusus/temuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor P.03/VI-BPPHH/2005 tanggal 3 Mei 2005 tentang Penilaian Kinerja Penguji Hasil Hutan dan Pengawas Penguji Hasil Hutan tidak dapat dilakukan karena sifat laporan yang sangat rahasia dan belum adanya dasar hukum berupa peraturan perundangan yang mewajibkan PPHH untuk melaporkan hal tersebut pada BP2HP Wilayah XI Banjarbaru.

d. Pengembangan profesi dengan bobot 10 %
- Mengikuti diklat/penyegaran di bidang pengukuran dan pengujian hasil hutan atau bidang kehutanan lainnya dengan bobot 50 %.
- Mengikuti seminar/sosialisasi/pembahasan di bidang pengukuran dan pengujian hasil hutan atau bidang kehutanan lainnya dengan bobot 50 %.

e. Penugasan dengan bobot 15 %


MEKANISME PENILAIAN KINERJA

A. Obyek Penilaian Kinerja

Obyek kegiatan Penilaian Kinerja Pengawas Penguji Hasil Hutan (PPHH) ini adalah :
1. Pengawas Penguji Hasil Hutan yang ditugaskan sebagai Petugas/Pejabat Penatausahaan Hasil Hutan pada setiap Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota atau UPTD di wilayah Propinsi Kalimantan Selatan serta Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Selatan.
2. Pengawas Penguji Hasil Hutan yang tidak ditugaskan sebagai Petugas/Pejabat Penatausahaan Hasil Hutan pada setiap Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota atau UPTD di wilayah Propinsi Kalimantan Selatan serta Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Selatan.

Pengawas Penguji Hasil Hutan yang dapat dinilai kinerjanya adalah Pengawas Penguji Hasil Hutan yang paling tidak sudah bertugas selama 3 (tiga) bulan dalam tahun berjalan.

B. Kurun Waktu Penilaian Kinerja

1. Penilaian Kinerja dilakukan terhadap semua kegiatan yang dilaksanakan oleh Pengawas Penguji Hasil Hutan (PPHH) dalam kurun waktu sejak bulan Januari sampai dengan pada saat kegiatan Penilaian Kinerja dilaksanakan dalam tahun berjalan.
2. Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengawas Penguji Hasil Hutan dilakukan sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau sesuai dengan kebutuhan.
3. Penilaian Kinerja dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah kerja BP2HP Wilayah XI Banjarbaru sesuai dengan surat tugas dari Kepala BP2HP Wilayah XI Banjarbaru. Untuk kepentingan efisiensi pelaksanaan Penilaian Kinerja serta mengingat keterbatasan dana yang terdapat pada BP2HP Wilayah XI Banjarbaru, PPHH pada beberapa wilayah kabupaten/kota yang berdekatan dapat dikumpulkan pada 1 (satu) wilayah tertentu.

C. Bahan Penilaian Kinerja

1. Bahan-bahan yang harus disiapkan oleh Tim Pelaksana Penilaian Kinerja :
1) Daftar hadir/presensi peserta Penilaian Kinerja;
2) Soal-soal evaluasi teori dan praktek yang meliputi pengetahuan mengenai pengenalan jenis kayu, pengenalan cacat hasil hutan, pengukuran hasil hutan, pengujian hasil hutan dan peraturan bidang penatausahaan hasil hutan;
3) Kertas kerja Penilaian Kinerja Pengawas Penguji Hasil Hutan;
4) Rekapitulasi laporan pengukuran dan pengujian hasil hutan atau laporan lain yang menjadi kewajiban PPHH berikut data kelengkapan dan kebenaran cara pengisian laporan;
5) Surat-surat teguran tertulis atau surat peringatan sanksi atau keputusan pengadilan atas pelanggaran atau tindak pidana yang dilakukan oleh PPHH.

2. Bahan dan peralatan yang harus disiapkan oleh Peserta Penilaian Kinerja :
1) Alat tulis dan kalkulator;
2) Laporan pengukuran dan pengujian hasil hutan berikut bukti/resi pengiriman laporan setiap bulannya;
3) Dokumen penatausahaan hasil hutan sesuai bidang tugasnya masing-masing berikut bukti/resi pengiriman laporan setiap bulannya (bagi yang ditugaskan sebagai pejabat/petugas penatausahaan hasil hutan);
4) Sertifikat atau surat keterangan mengikuti diklat/penyegaran/seminar/sosialisasi/pembahasan bidang pengukuran dan pengujian hasil hutan atau bidang kehutanan lainnya;
5) Absensi/daftar hadir di tempat tugas PPHH (bagi yang ditugaskan sebagai pejabat/petugas penatausahaan hasil hutan) dan atau surat tugas melakukan kegiatan pengukuran dan pengujian hasil hutan dari pimpinan PPHH yang bersangkutan.

D. Prosedur Kerja Penilaian Kinerja

1) Persiapan di Kantor BP2HP Wilayah XI Banjarbaru.
Tim pelaksana Penilaian Kinerja PPHH yang ditunjuk dengan Surat Perintah Tugas dari Kepala BP2HP Wilayah XI Banjarbaru mempersiapkan hal-hal sebagai berikut :
a. Menginventarisir PPHH yang akan dinilai kinerjanya;
b. Mengumpulkan bahan-bahan Penilaian Kinerja berupa soal-soal yang akan diujikan, dimasukkan dalam amplop tertutup dan disegel dengan menggunakan selotip atau lakban untuk menjaga kerahasiaan melalui tim pembuat soal yang ditunjuk secara khusus, termasuk kertas kerja Penilaian Kinerja. Sedangkan bahan dan peralatan pengukuran dan pengujian hasil hutan yang akan digunakan dalam penialaian kinerja seperti loupe, cutter, contoh jenis kayu, dan lain-lain disiapkan secara mandiri oleh tim pelaksana Penilaian Kinerja yang bersangkutan;
c. Melakukan koordinasi dengan instansi terkait dan calon peserta Penilaian Kinerja dalam hubungannya dengan efektifitas waktu dan tempat pelaksanaan Penilaian Kinerja.

2) Pelaksanaan Penilaian Kinerja di Lapangan.
Tim Pelaksana Penilaian Kinerja melaksanakan pengumpulan data hasil Penilaian Kinerja di lapangan yang meliputi :
a. Melakukan pendataan ulang PPHH yang akan dinilai kinerjanya dengan mengisi kertas kerja sebagaimana lampiran 3 dan 4;
b. Memeriksa kelengkapan peralatan pengukuran dan pengujian hasil hutan yang dimiliki oleh masing-masing PPHH berupa kalkulator, meteran 5 M/scale stick, meteran 20 M, loupe dan cutter;
c. Melakukan evaluasi teori dan praktek yang meliputi pengetahuan mengenai pengenalan jenis kayu, pengenalan cacat hasil hutan, pengukuran hasil hutan, pengujian hasil hutan dan peraturan bidang penatausahaan hasil hutan;
d. Memeriksa dan melakukan cross check antara laporan yang diterima oleh Balai dengan bukti atau resi pengiriman yang dimiliki oleh PPHH;
e. Memeriksa kelengkapan jenis laporan yang disampaikan kepada Balai sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya;
f. Melakukan uji petik pemeriksaan kebenaran cara pengisian laporan yang dibuat oleh PPHH;
g. Memeriksa sertifikat atau surat keterangan mengikuti diklat/penyegaran/seminar/sosialisasi/pembahasan bidang pengukuran dan pengujian hasil hutan atau bidang kehutanan lainnya;

h. Memeriksa surat-surat teguran tertulis atau surat peringatan sanksi atau keputusan pengadilan atas pelanggaran atau tindak pidana yang dilakukan oleh PPHH;
i. Memeriksa kelengkapan pengisian absensi/daftar hadir di tempat tugas PPHH dan atau surat tugas dari pimpinan PPHH yang bersangkutan.

E. Tata Cara Penilaian Kriteria dan Indikator Penilaian Kinerja

1. Kriteria Pemahaman dan Penguasaan Peraturan.

Pemahaman dan penguasaan peraturan merupakan kemampuan PPHH dalam memahami dan menguasai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan bidang tugasnya terutama pengukuran dan pengujian hasil hutan dan penatausahaan hasil hutan.

Penilaian terhadap pemahaman dan penguasaan peraturan dilakukan dalam bentuk evaluasi kognitif (teori) terhadap materi pengenalan jenis hasil hutan, pengenalan cacat hasil hutan, pengukuran hasil hutan dan pengujian hasil hutan serta peraturan penatausahaan hasil hutan.

2. Kriteria Keterampilan dan Ketepatan Menggunakan Alat Ukur.

Keterampilan dan ketepatan menggunakan alat ukur merupakan kemampuan PPHH dalam hal memenuhi kebutuhan standar minimal peralatan pengukuran dan pengujian hasil hutan yang harus dimiliki serta mengaplikasikan penggunaan peralatan pengukuran dan pengujian dimaksud secara benar sesuai ketentuan.

Penilaian terhadap indikator kelengkapan peralatan pengukuran dan pengujiann hasil hutan dilakukan dengan mendata dan mengecek jenis dan jumlah peralatan pengukuran dan pengujian hasil hutan yang dimiliki oleh masing-masing PPHH yang meliputi kalkulator, meteran 5 M/scale stick, meteran 20 M, loupe dan cutter.

Sedangkan penilaian terhadap keterampilan dan ketepatan menggunakan peralatan pengenalan jenis, pengukuran dan pengujian hasil hutan dilakukan dalam bentuk evaluasi kognitif (teori). Bahan evaluasi kognitif tersebut dibuat dalam bentuk simulasi sedemikian rupa yang mendekati kondisi praktek sebenarnya di lapangan. Hal tersebut dilakukan mengingat keterbatasan dana yang ada pada BP2HP Wilayah XI Banjarbaru, yang mana tidak memungkinkan untuk dilaksanakan melalui praktek di lapangan.

Hasil penilaian evaluasi kognitif (teori) dalam bentuk simulasi diberikan nilai dengan skala nilai 0 – 100, yang kemudian nilai tersebut diolah sesuai nilai skala intensitas sebagaimana lampiran 1 dan 2.


3. Kriteria Pelaporan.

Pelaporan merupakan kewajiban PPHH yang harus disampaikan kepada instansi terkait berkenaan dengan tugas dan tanggung jawabnya sebagai PPHH.

Cara penilaian kriteria pelaporan dapat dijelaskan sebagai berikut :

1) Indikator penyampaian laporan kegiatan bulanan.

Indikator ini dinilai dengan menghitung jumlah bulan laporan yang masuk / dilaporkan ke BP2HP Wilayah XI Banjarbaru. Dari laporan yang masuk tersebut kemudian dipilah laporan yang disampaikan tepat waktu dan yang tidak tepat waktu, dengan batasan sebagai berikut :
a. Laporan tepat waktu, bila laporan disampaikan sebelum tanggal 10 bulan berikutnya. Misalnya laporan bulan Januari 2008, disampaikan tanggal 8 Pebruari 2008.
b. Laporan tidak tepat waktu, bila laporan disampaikan setelah tanggal 10 bulan berikutnya tapi sebelum akhir bulan berikutnya. Misalnya laporan bulan Januari 2008, disampaikan tanggal 12 Pebruari 2008.
c. Laporan tidak disampaikan, bila laporan disampaikan setelah akhir bulan berikutnya. Misalnya laporan bulan Januari 2008, disampaikan tanggal 2 Maret 2008.

2) Indikator kelengkapan penyampaian laporan kegiatan bulanan.

Penilaian terhadap indikator ini dilakukan dengan menentukan atau memilih secara purposif sampling (sengaja) oleh tim penilaian kinerja terhadap bulan pelaporan dalam tahun yang bersangkutan. Misalnya memilih laporan bulan Maret 2008, maka laporan pada bulan inilah yang dinilai kelengkapannya.

Indikator ini dinilai dengan menghitung jumlah jenis laporan yang masuk / dilaporkan ke BP2HP Wilayah XI Banjarbaru yang disampaikan oleh masing-masing PPHH sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya terkait jabatannya dalam penatausahaan hasil hutan kemudian dibandingkan dengan jumlah jenis laporan yang seharusnya disampaikan.

Cara perhitungan :
∑ LM
% KL = --------- X 100 %
∑ LS
Dimana :
% KL = Kelengkapan penyampaian laporan kegiatan bulanan
∑ LM = Jumlah jenis laporan yang masuk / dilaporkan ke BP2HP Wilayah XI Banjarbaru
∑ LS = Jumlah jenis laporan yang yang seharusnya disampaikan ke BP2HP Wilayah XI Banjarbaru

Jenis laporan yang seharusnya disampaikan ke BP2HP Wilayah XI Banjarbaru dapat dijelaskan sebagaimana berikut ini :
a. Bagi P2LHP, laporan kegiatan bulanan yang harus dikirimkan terdiri dari Pengesahan Laporan Hasil Penebangan dan Rekapitulasinya, Daftar Pemeriksaan Kayu Bulat dan Berita Acara Pemeriksaan kayu Bulat.
b. Bagi P2SKSKB, laporan kegiatan bulanan yang harus dikirimkan terdiri dari Surat Keterangan Sahnya Kayu Bulat, Daftar Kayu Bulat/Kayu Bulat Kecil, Berita Acara Pemeriksaan Kayu Bulat, Daftar Pemeriksaan Kayu Bulat dan Daftar Penerbitan SKSKB serta Daftar Penerimaan, Penerbitan dan Persediaan Blanko SKSKB.
c. Bagi P3KB, laporan kegiatan bulanan yang harus dikirimkan terdiri dari Rekapitulasi Pemeriksaan Kayu Bulat, Berita Acara Pemeriksaan Kayu Bulat, Daftar Pemeriksaan Kayu Bulat dan Daftar Penerimaan SKSKB lembar ke-1.

Contoh :
Misalnya seorang P2LHP a.n. Busran pada bulan Maret 2008 hanya menyampaikan 2 (dua) jenis dokumen yaitu Pengesahan Laporan Hasil Produksi dan Rekapitulasi Laporan Hasil Produksi.
Sedangkan seorang P2LHP harusnya menyampaikan 4 (empat) jenis dokumen yaitu Pengesahan Laporan Hasil Produksi, Rekapitulasi Laporan Hasil Produksi, Daftar Pemeriksaan Kayu Bulat dan Berita Acara Pemeriksaan kayu Bulat.
Maka cara perhitungan % kelengkapan penyampaian laporan kegiatan bulanan sebagai berikut :

2
% KL = ----- X 100 % = 50 %
4

3) Indikator kebenaran cara pengisian laporan.

Penilaian terhadap indikator ini dilakukan dengan menentukan atau memilih secara purposif sampling (sengaja) oleh tim penilaian kinerja terhadap jenis laporan yang disampaikan dalam tahun yang bersangkutan oleh masing-masing PPHH. Misalnya memilih jenis laporan Daftar Pemeriksaan Kayu Bulat oleh P2LHP, maka laporan inilah yang dinilai kebenaran cara pengisiannya.

Indikator ini dinilai dengan menghitung jumlah item yang diisi secara benar oleh PPHH kemudian dibandingkan dengan jumlah item yang harus diisi secara benar.

Cara perhitungan :
∑ IB
% KI = --------- X 100 %
∑ IS
Dimana :
% KI = Persentase kebenaran cara pengisian laporan
∑ IB = Jumlah item yang diisi secara benar oleh PPHH
∑ IS = Jumlah item yang seharusnya diisi secara benar oleh PPHH

Jumlah item yang harus diisi secara benar oleh Pengawas Penguji Hasil Hutan bervariasi tergantung jenis dokumen, yaitu diantaranya :
a. Laporan Hasil Penebangan Kayu Bulat/Kayu Bulat Kecil (LHP-KB/KBK) sebanyak 2 item yaitu nama dan nomor register P2LHP.
b. Rekapitulasi Laporan Hasil Penebangan Kayu Bulat/Kayu Bulat Kecil (RLHP-KB/KBK) sebanyak 2 item yaitu nama dan nomor register P2LHP.
c. Daftar Pemeriksaan Kayu Bulat (DPKB) sebanyak 36 item sedangkan Daftar Pemeriksaan Kayu Bulat Kecil (DPKBK) sebanyak 39 item.
d. Berita Acara Pemeriksaan Kayu Bulat/Kayu Bulat Kecil sebanyak 23 item.
e. Rekapitulasi Pemeriksaan Hasil Hutan (RPHH) sebanyak 41 item.
f. Surat Keterangan Sahnya Kayu Bulat sebanyak 38 item.
g. Daftar Kayu Bulat sebanyak 2 item yaitu nama dan nomor register P2SKSKB.
h. Daftar Penerbitan SKSKB sebanyak 16 item.
i. Daftar Penerimaan, Penerbitan dan Persediaan Blanko SKSKB sebanyak 22 item.
j. Daftar Penerimaan SKSKB lembar ke-1 sebanyak 17 item.

Contoh :
Misalnya seorang P2LHP a.n. Busran pada bulan Maret 2008, dari Daftar Pemeriksaan Kayu Bulat (DPKB) yang disampaikannya terdapat 3 item yang diisi dengan tidak benar.
Sedangkan dalam Daftar Pemeriksaan Kayu Bulat (DPKB) harusnya terdapat 36 item yang harus diisi secara benar.
Maka cara perhitungan % kebenaran cara pengisian laporan sebagai berikut :

33
% KI = ------- X 100 % = 91,67 %
36
4. Kriteria Pengembangan Profesi

Pengembangan profesi merupakan usaha mengembangkan diri melalui peningkatan ilmu pengetahuan, teknologi dan keterampilan dalam rangka meningkatkan profesionalisme PPHH dan mutu pengukuran dan pengujian hasil hutan.

Indikator ini dinilai dengan menentukan jumlah keikutsertaan dalam diklat/penyegaran atau seminar/ sosialisasi/pembahasan bidang pengukuran dan pengujian hasil hutan atau bidang kehutanan lainnya yang diikuti oleh PPHH dalam tahun berjalan.

Bagi PPHH yang Kartu Pengawas Penguji-nya masih berlaku dianggap sama dengan mengikuti 1 kali penyegaran. Hal ini karena penyegaran dalam rangka perpanjangan masa berlaku Kartu Pengawas Penguji hanya sekali dalam 3 tahun, sehingga tidak mungkin seorang PPHH dapat mengikuti penyegaran setiap tahun.

5. Kriteria Pelanggaran

Pelanggaran merupakan bentuk penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Indikator ini dinilai dengan menentukan jumlah teguran tertulis atau pelanggaran administratif atau pelanggaran pidana dan pelanggaran lainnya yang dilakukan oleh PPHH dalam tahun berjalan.

Pelanggaran pidana yang dimaksud adalah merupakan tindak pidana yang belum mendapatkan kekuatan hukum tetap dan belum ada keputusan vonis dari pengadilan. Apabila berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, PPHH divonis melakukan tindak pidana atau PPHH yang bersangkutan sedang menjalani masa hukuman, maka PPHH yang bersangkutan tidak perlu dinilai kinerjanya atau secara otomatis hasil Penilaian Kinerjanya dianggap mendapat nilai 0 (Nol).

6. Kriteria Presensi pada Lokasi Tugas
Presensi merupakan catatan atas bukti kehadiran di tempat tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
Indikator ini dinilai dengan menghitung jumlah hari kehadiran PPHH di tempat tugas kemudian dibandingkan dengan jumlah hari kerja seharusnya dalam tahun berjalan.
Cara perhitungan :
∑ HH
% P = ---------- X 100 %
∑ HK
Dimana :
% P = Persentase presensi pada lokasi tugas
∑ HH = Jumlah hari kehadiran PPHH di lokasi tugas
∑ HK = Jumlah hari kerja seharusnya dalam tahun berjalan

7. Kriteria Penugasan
Penugasan merupakan bentuk pelaksanaan tugas pengukuran dan pengujian hasil hutan oleh PPHH sesuai dengan Surat Perintah Tugas dari pimpinan PPHH yang bersangkutan.
Indikator ini dinilai dengan menentukan jumlah penugasan yang dilakukan oleh PPHH dalam tahun berjalan.

BAB IV
HASIL PENILAIAN KINERJA

A. Pengolahan Data

1) Pengelompokkan Kriteria dan Nilai Skala Intensitas

Hasil penilaian dari setiap kriteria dan indikator Penilaian Kinerja terhadap setiap PPHH dimasukkan ke dalam Kertas Kerja Penilaian Kinerja PPHH yang dilakukan dengan mencantumkan besaran Nilai Skala Intensitas dan Nilai Tertimbang dari tiap unsur/indikator yang dinilai.

Hasil penilaian terhadap tiap unsur/kriteria yang dinilai tersebut diolah dalam bentuk nilai skala intensitas (NSI) yang dapat dijelaskan sebagaimana di bawah ini :

1. Kriteria Pemahaman dan Penguasaan Peraturan
Penilaian terhadap kriteria ini serta masing-masing indikatornya dilakukan dalam bentuk evaluasi kognitif (teori) dan diberikan nilai dalam skala 0 – 100. Nilai tersebut kemudian diolah dan dikategorikan/ dikelompokkan dalam beberapa kriteria tertentu dan selanjutnya ditentukan Nilai Skala Intensitasnya. Kriteria dan Nilai Skala Intensitas ditentukan sebagai berikut :
• Sangat memahami, apabila nilai evaluasi kognitif > 80, masuk dalam Nilai Skala Intensitas 1,00
• Memahami, apabila nilai evaluasi kognitif 70 - <> 80, masuk dalam Nilai Skala Intensitas 1,00
• Memahami, apabila nilai evaluasi kognitif 70 - <> 75 %, masuk dalam Nilai Skala Intensitas 1,00
• Lengkap, apabila kelengkapan laporan mencapai 50 < nmtk =" BK" nmtk =" Nilai" bk =" Besaran" 3 =" Besaran" nti =" NSI" nti =" Nilai" nsi =" Nilai" nmtk =" Nilai" bi =" Besaran" nti =" NSI" nti =" Nilai" nsi =" Nilai" bk =" Besaran" bi =" Besaran" 3 =" Besaran" tnt =" NTI1" tnt =" Total" ntin =" Nilai"> 2,40, masuk kategori A
b. Sedang : jumlah nilai tertimbang 1,80 s/d 2,39, masuk kategori B
c. Buruk : jumlah nilai tertimbang <>

REPOSISI PERAN NEGARA DALAM PENGELOLAAN HUTAN

Oleh :
Busran, S. Hut.

Pendahuluan
Siapapun tentunya sepakat bahwa hutan termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal ini dapat dipahami dari Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.


Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) tersebut diuraikan bahwa pengertian “dikuasai” bukan berarti “memiliki”, melainkan suatu pengertian yang mengandung kewajiban-kewajiban dan wewenang-wewenang (Negara) dalam bidang hukum publik, yaitu :
1. Mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan;
2. Menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan
3. Mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.
Hal ini mengindikasikan bahwa pengelolaan hutan boleh diserahkan kepada perorangan, kelompok atau golongan tertentu selama tidak terpusat atau dengan kata lain harus terdistribusi secara merata sebagaimana penjelasan Pasal 23 UU Nomor 41 Tahun 1999. Ironisnya, penyerahan pengelolaan hutan oleh negara (dalam hal ini Pemerintah) dalam bentuk izin usaha pemanfaatan kepada perorangan, koperasi atau badan usaha milik swasta, dianggap sebagai bentuk dari pengurusan hutan oleh Pemerintah. Demikianlah watak asli kapitalisme.

Potret Buruk Pengelolaan Hutan dalam Cengkeraman Kapitalisme
Pengelolaan hutan pada dasarnya menjadi kewenangan pemerintah dan atau pemerintah daerah sebagai konsekuensi dari pengurusan hutan (penjelasan Pasal 21) diantaranya mengatur mengenai pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan. Selanjutnya dalam pejelasan Pasal 23 dijelaskan bahwa hutan sebagai sumber daya nasional harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi masyarakat sehingga tidak boleh terpusat pada seseorang, kelompok atau golongan tertentu. Oleh karena itu pemanfaatan hutan harus didistribusikan secara berkeadilan melalui peningkatan peran serta masyarakat, sehingga masyarakat semakin berdaya dan berkembang potensinya. Oleh karenanya, pengelolaan hutan boleh diserahkan kepada perorangan, kelompok atau golongan tertentu selama tidak terpusat atau dengan kata lain harus terdistribusi secara merata. Hal ini dapat dilihat secara jelas dalam Pasal 23 s/d Pasal 34 UU Nomor 41 Tahun 1999 yang mengatur mengenai pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan.
Atas dasar asumsi tersebut, yakni bahwa dalam rangka memperoleh manfaat yang optimal dari hutan dan kawasan hutan bagi kesejahteraan masyarakat, pada prinsipnya semua hutan dan kawasan hutan dapat dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan sifat, karateristik, dan kerentanannya serta tidak dibenarkan merubah fungsi pokoknya.
Pada dasarnya, asumsi tersebut sah-sah saja. Yang kemudian menjadi permasalahan adalah ketika pada tataran implementasi, dimana pengelolaan dan pemanfaatan hutan dan kawasan hutan tersebut diserahkan sepenuhnya kepada pihak swasta atau pengusaha yang notabene mereka akan selalu menerapkan prinsip-prinsip ekonomi yang berakar dari sistem kapitalisme, ‘pengeluaran minimal untuk mendapatkan keuntungan maksimal’. Sehingga yang kemudian terjadi adalah mereka tidak akan sungkan untuk melakukan apapun untuk memuluskan segala kepentingannya guna mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, termasuk menyuap para pengambil kebijakan.
Selain itu, karakter kapitalisme yang individualis telah mewujud dalam sikap menomorsatukan kepemilikan individu (private property) sebagai premis ekonomi dalam kapitalisme (Heilbroner,1991 dalam Al-Jawi, 2006). Wajarlah jika dalam pengelolaan hutan, pengusaha memandang hutan sebagai milik individu, yakni milik pengusaha melalui pemberian HPH/IUPHHK yang diberikan oleh penguasa, sementara Pemerintah memandang hutan sebagai milik Negara yang boleh diserahkan pemanfaatannya atau pengelolaannya kepada perorangan, koperasi, dan atau swasta untuk mendapatkan manfaat maksimal dari hutan dengan dalih guna sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Selain mengutamakan kepemilikan individu, pendekatan kapitalisme yang utilitarian telah melahirkan sikap eksploitatif atas sumber daya alam seraya mengabaikan aspek moralitas. Utilitarianisme menilai baik buruknya suatu tindakan berdasarkan akibatnya bagi banyak orang. Tindakan publik tidak dinilai sebagai baik atau buruk berdasarkan nilai kebijakan atau tindakan itu sendiri. Pijakan obyektif yang digunakan adalah dengan melihat apakah suatu kebijakan atau tindakan publik tersebut membawa manfaat atau akibat yang berguna, atau sebaliknya membawa kerugian bagi orang-orang terkait. Artinya hanya sekedar mementingkan aspek kemanfaatan dari sebuah kebijakan.
Hal inilah yang dapat menjelaskan mengapa dalam pengelolaan hutan selama ini sering terjadi penyelewengan pelaksanaan regulasi, misalnya perusahaan IUPHHK-Alam (HPH) melakukan penebangan di luar areal kerjanya dan di luar blok RKT yang disahkan, menebang melebihi toleransi volume yang diperkenankan, menebang di bawah limit diameter yang ditetapkan, dan lain-lain. Juga termasuk penyimpangan tidak dilaksanakannya pembinaan hutan, penanaman tanah kosong, dan lain-lain.
Walhasil, hutan yang semestinya menjadi sumber kekayaan rakyat Indonesia ternyata hasilnya nyaris tidak dirasakan oleh mayoritas rakyat karena mengalami kegagalan dalam pengelolaannya. Dan hal tersebut bersumber pada diterapkannya sebuah sistem ekonomi yang berasal dari ideologi yang memang rusak dari akarnya yakni kapitalisme.

Kepemilikan Sumber Daya Hutan dalam Perspektif Islam
Jika kita hendak memasuki wilayah pembahasan sistem ekonomi, maka pembahasan awal yang paling penting untuk dijawab adalah menyangkut pandangannya terhadap keberadaan seluruh sumber daya yang ada di dunia ini. Demikian juga dalam pembahasan sistem ekonomi Islam, kita harus memahami terlebih dahulu bagaimana pandangan sistem ekonomi Islam dalam memandang masalah sumber daya ini.
Dalam pandangan sistem ekonomi Islam, harta kekayaan yang ada di bumi ini tidaklah bebas untuk dimiliki oleh individu, sebagaimana yang ada dalam pemahaman sistem ekonomi kapitalisme. Sebaliknya juga tidak seperti dalam pandangan sistem ekonomi sosialisme, yang memandang bahwa harta kekayaan yang ada di bumi ini harus sepenuhnya dikuasai oleh negara. Di dalam sistem ekonomi Islam, status kepemilikan terhadap seluruh harta kekayaan yang ada di bumi ini dapat dikategorikan dalam 3 kelompok, yaitu:
Pertama : Kepemilikan individu, yaitu hukum syara’ yang berlaku bagi zat atau manfaat tertentu, yang memungkinkan bagi yang memperolehnya untuk memanfaatkannya secara langsung atau mengambil kompensasi (iwadh) dari barang tersebut.
Kedua : Kepemilikan umum, yaitu ijin Asy-Syari’ kepada suatu komunitas untuk bersama-sama memanfaatkan suatu benda.
Ketiga : Kepemilikan negara, yaitu harta yang tidak termasuk kategori milik umum melainkan milik individu, namun barang-barang tersebut terkait dengan hak kaum muslimin secara umum.
Dari pembagian kepemilikan dalam ekonomi Islam tersebut, maka posisi sumber daya alam seperti pertambangan, energi, hutan, air dan sebagainya masuk kategori yang kedua, yaitu kepemilikan umum karena termasuk dalam SDA yang menguasai hajat hidup orang banyak. Pendapat ini dapat dipahami dari dalil Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud :
«النّارِ وَ الْكَلاَءِ وَ الْمَاءِ فِي : الثّلاَثِ فِي شُرَكَاءُ اَلنَّاسُ»
Manusia itu berserikat (punya andil) dalam tiga perkara, yaitu: air, padang rumput, dan api (BBM, gas, listrik, dsb). (HR Ahmad dan Abu Dawud).
Dalam Hadits di atas, selain menyebut air dan api, Rasul SAW juga menyebut lafadz padang rumput, yang dimaksudkan adalah padang gembalaan, hutan, dan sejenisnya. Dengan demikian, berbagai sumber daya yang disebut dalam Hadits di atas adalah masuk dalam kategori kepemilikan umum. Konsekuensi dari bentuk-bentuk kepemilikan tersebut juga akan sangat berpengaruh pada politik ekonomi dari pengelolaan sumber daya alam tersebut.

Politik Ekonomi Pengelolaan Hutan Perspektif Islam
Hakikatnya, alam semesta beserta isinya adalah milik Allah SWT yang diamanahkan kepada manusia untuk mengelolanya. Sumber daya alam termasuk hutan tentunya, yang merupakan milik umum harus dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat sebagai pemiliknya. Karenanya kita harus memiliki pandangan dengan tegas bahwa rakyatlah yang sesungguhnya menjadi pemilik hakiki sumber daya tersebut. Kepemilikan ini tidak bisa berpindah lagi, baik berpindah kepada negara, kepada swasta, apalagi kepada swasta luar negeri (baca : asing).
Lantas yang menjadi pertanyaan, siapa yang harus mengelolanya ? Menurut perspektif politik ekonomi Islam adalah Negara. Namun, yang tetap harus diingat adalah bahwa tugas negara hanyalah mengelola, bukan memiliki. Tanggung jawab negara adalah mengelola seluruh sumber daya alam itu untuk digunakan sepenuhnya bagi kemakmuran rakyatnya. Paradigma pengelolaan SDA milik umum yang berbasis swasta (corporate based management) diubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh negara (state based management) dengan tetap berorientasi pada kelestarian sumber daya (sustainable resources principle). Tidak dibenarkan hutan dan milik umum lainnya dikapling-kapling untuk perusahaan swasta. Memang dalam Forest Agreement tidak menyebutkan bahwa penguasaan pengelolaan hutan tersebut bukan dalam bentuk hak milik, namun yang berhak memiliki hasil bersih dari sumber daya hutan yang telah dieksploitasi tersebut tetaplah para pemegang sahamnya (setelah dikurangi biaya produksi, PSDH dan DR, pajak, gaji karyawan dan pungutan sektor kehutanan lainnya). Perusahaan swasta seharusnya hanya boleh disertakan sebagai kontraktor, misalnya, atau kerjasama namun tetap penguasaan dan kebijakannya ada pada perusahaan negara.

Hasil Pengelolaan Hutan dan Pendistribusiannya
Segala penghasilan dari pengelolaan hutan dan hasil hutan menjadi sumber pendapatan kas negara (Baitul Mal) dari sektor Kepemilikan Umum. Mengenai distribusi hasil hutan, negara tidak terikat dengan satu cara tertentu yang baku. Negara boleh mendistribusikan hasil hutan dalam berbagai cara sepanjang untuk kemaslahatan rakyat dalam bingkai syariat Islam. Kaidah fikih menyebutkan : “Kebijakan Imam/Khalifah dalam mengatur rakyatnya berpatokan pada asas kemaslahatan”.
Pemasukan dari sektor kepemilikan umum ini, hasilnya dapat digunakan untuk : pertama, biaya eksploitasi sumber daya hutan, mulai dari biaya tenaga kerja, pembangunan infrastruktur, penyediaan perlengkapan, dll. Kedua, dibagikan langsung kepada masyarakat yang pada dasarnya merupakan pemilik yang sah dari sumber daya hutan dimaksud. Amirul Mukminin (Khalifah) bisa membagikannya dalam bentuk benda yang memang diperlukan oleh masayarakat seperti listrik, air, pelayanan kesehatan, dan lain-lain secara gratis atau langsung dalam bentuk uang hasil penjualan. Ketiga, membangun berbagai sarana dan prasarana untuk kepentingan umum seperti jalan, taman, rumah sakit, sekolah, dll. Dan keempat, sebagian hasil kepemilikan umum itu dapat dialokasikan untuk biaya penyebaran risalah Islam (dakwah) dan jihad, gaji pegawai negeri, tentara dan sebagainya.

Kesimpulan
Persoalan yang paling krusial menyangkut permasalahan sumber daya hutan di Indonesia ini sesungguhnya bukan terletak pada masalah langka atau tidaknya sumber daya ini, bukan juga pada masalah mahal atau tidaknya harga sumber daya ini. Termasuk juga, bukan masalah sulit atau tidaknya untuk mendapatkannya. Akan tetapi, semuanya hanya bermuara kepada keputusan politik ekonomi dari pengelolaan sumber daya itu sendiri. Pertanyaannya adalah, apakah pengelolaannya akan mengabdi kepada kepentingan segelintir kaum kapitalis ataukah akan mengabdi kepada kepentingan rakyat sebagai pemilik hakiki dari sumber daya tersebut ?
Jika kita dapat mengembalikan posisi kepemilikan sumber daya hutan kepada pemiliknya yang hakiki, yaitu rakyat, sedangkan tugas negara hanyalah mengelolanya untuk kepentingan seluruh rakyatnya, maka Insya Allah akan terurailah segenap persoalan benang ruwet dari sumber daya hutan di negeri ini.
Jelas sekali, pemerintah harus memanfaatkan seoptimal mungkin sumber daya hutan negeri ini yang sesungguhnya sangat melimpah itu. Harus ada strategi baru dalam memanfaatkan sumber daya itu. Namun demikian, strategi apa pun tidak akan dapat berjalan jika tetap berada dalam kontrol undang-undang dan peraturan yang bersumber dari sistem kapitalisme-sekular seperti sekarang ini. Sudah saatnya, pengelolaan sumber daya hutan diatur dengan undang-undang dan peraturan yang bersumber dari syariat Allah, Zat Yang Mahatahu atas segala sesuatu, yang pasti jauh lebih mengetahui apa yang terbaik bagi manusia. Karena itu, marilah kita renungkan kembali ayat berikut :
 •         
Apakah (sistem) hukum jahiliyah yang mereka kehendaki. (Sistem) hukum siapakah yang lebih baik dari pada (sistem) hukum Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).
Wallahu a’lam bi ash-showab.

04 Maret 2009

MENCARI TEKNOLOGI RAMAH LINGKUNGAN

Oleh : Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal

Salah satu catatan dari Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNCCC) di Bali Desember 2007 lalu adalah keinginan negara-negara berkembang untuk mendapatkan transfer teknologi ramah lingkungan guna ikut mensukseskan pengurangan emisi demi mencegah pemanasan global. Negara-negara maju enggan mengabulkan permintaan itu dengan alasan teknologi itu ada pada dunia bisnis yang investasi risetnya telah dilindungi dengan hak paten. Karena itu, urusan transfer teknologi adalah urusan bisnis dengan korporasi yang memilikinya.
Pertanyaannya kini, apa saja yang termasuk teknologi ramah lingkungan, dan benarkah semua itu urusan bisnis?

Teknologi ramah lingkungan (eco-friendly-technology) dapat diringkas sebagai adalah segala jenis aplikasi teknologi yang dapat memberikan kepuasan penggunanya dengan sumber daya lingkungan yang lebih rendah. Sebelum kesadaran ekologi muncul, orang hanya berpikir ekonomi. Teknologi yang diterapkan adalah yang termurah dari sudut ekonomi, menggunakan sumberdaya alam maupun sumber daya manusia yang murah walaupun dari sudut ekologi bisa saja dinilai mahal. Hal ini karena sistem ekonomi masih jarang menilai lingkungan dengan harga yang wajar. Misalnya, berapa nilai oksigen yang kita hirup atau nilai lingkungan udara yang kita cemari dengan gas buang? Sebuah mesin yang lebih banyak menyedot oksigen untuk hasil kerja yang sama, secara ekologis adalah lebih mahal, walaupun secara ekonomis mungkin lebih murah. Hal ini karena oksigen itu menjadi berkurang untuk digunakan oleh mahluk hidup yang lain – termasuk manusia.
Secara umum, teknologi ramah lingkungan adalah teknologi yang hemat sumberdaya lingkungan (meliputi bahan baku material, energi dan ruang), dan karena itu juga sedikit mengeluarkan limbah (baik padat, cair, gas, kebisingan maupun radiasi) dan rendah risko menimbulkan bencana. Kita akan melihat contoh-contoh teknologi ini pada fokus pengembangan iptek nasional:

Pangan
Pola konsumsi paling ramah lingkungan adalah vegetarian. Dari bahan nabati yang sama, bila dikonsumsi langsung, manusia mendapatkan tujuh kali lipat nutrisi daripada jika bahan nabati itu digunakan untuk pakan ternak yang lalu dikonsumsi dagingnya.
Dapur modern yang rendah pemakaian energi (misalnya oven microwave) juga mestinya lebih ramah lingkungan. Demikian juga lemari pendingin yang bebas CFC. CFC adalah perusak lapisan ozon di atmosfir.
Masalah pangan juga terkait erat dengan sampah. Makanan kemasan memang praktis, tahan lama dan punya kelebihan dalam marketing. Namun banyak kemasan yang sebenarnya berlebihan dan tidak ramah lingkungan.
Saat ini sampah terbesar memang dari sektor pangan. Teknologi pengolah sampah, baik dari sisi pemisahan, daur ulang dan penghancuran jelas sangat diperlukan ketika volume sampah makin besar. Namun tentu lebih baik jika sampah ini dapat dihindari dengan mengubah pola kemasan pangan ke wadah pakai ulang. Dalam hal ini, teknologi bioproses untuk menghancurkan sampah dapat dipandang lebih ramah lingkungan daripada teknologi kimia.
Bioteknologi termasuk yang sangat diharapkan membantu menemukan bibit unggul tahan hama dan kekeringan yang pada lahan yang sama dapat menghasilkan pangan lebih banyak dalam waktu yang lebih singkat. Namun berbagai manipulasi transgenik membuat ketakutan tersendiri akan munculnya spesies baru yang justru dalam jangka panjang tidak ramah lingkungan.

Energi
Energi matahari adalah energi yang terramah lingkungan. Dibanding dengan mesin pengering, mengeringkan cucian di terik matahari itu ramah lingkungan, hanya perlu didesain saja jemuran yang praktis dan tidak membuat kesan kumuh. Demikian juga memanaskan air untuk mandi dengan menjemur air. Kalau dalam jumlah besar dan untuk disimpan memang perlu solar-collector lengkap dengan tankinya. Teknologinya sebenarnya sederhana dan murah, namun bisa cukup menghemat listrik atau gas, terutama untuk dunia perhotelan.
Dengan sistem ventilasi yang benar, desain gedung-gedung kita bisa menghemat penerangan maupun pendingin udara. Apalagi jika gaya pakaian kita menyesuaikan. Di Indonesia ini gaya busana yang latah meniru penjajah: untuk acara resmi kita pakai jas dan dasi, lantas agar tidak kegerahan, kita setel AC yang “sedingin kutub”, seakan kita memelihara pinguin di sana. Kita perlu berkaca dengan rekan-rekan kita sesama daerah tropis seperti Thailand atau Filipina, yang mengatur seragam dinas pegawai berupa T-shirt berkerah!
Di Jerman dan Jepang yang kesadaran lingkungan sudah tinggi banyak dikembangkan eco-house yang memadukan berbagai fungsi rumah secara maksimal. Dinding luar berselimut tanaman rambat. Atap berlapis solar panel. Aliran air dan udara dipikir masak-masak, misalnya air pemanas ruangan dapat dipakai mandi dan limbahnya dipakai menggelontor tinja. Septic-tank menghasilkan gas methan yang dapat dipakai menambah energi untuk dapur.




Rumah sakit di Berlin Jerman yang berselimut tanaman.



Indikator solar cell pada sebuah kantor di Kobe, Jepang. Solar cell mengirim 0,59 KW/m2



Solar panel terbesar di dunia, proyek GAIA di Jepang
Dulu, energi nuklir pernah dipandang sebagai energi ramah lingkungan, karena tidak menghasilkan emisi. Namun pendapat ini kini telah berubah. PLTN mensisakan masalah transportasi bahan nuklir dan tempat pembuangan limbah akhir yang sangat berresiko tinggi bagi lingkungan.
Yang kini digalakkan adalah teknologi biofuel dengan primadona micro-algae yang berpotensi menghasilkan 58.000 liter minyak/hektar (10x sawit). Sayang teknologinya masih disimpan negara maju, padahal Indonesia yang tropis dan banyak laut sangat berpotensi mengembangkannya.

Transportasi
Alat transportasi paling ramah lingkungan tentu saja adalah sepeda! Sudah banyak dikembangkan sepeda yang sangat efisien dari sisi energi, bahkan ada yang memiliki solar panel untuk menyerap energi matahari. Sepeda semacam ini dapat digunakan menempuh jarak ribuan kilometer.
Untuk beban yang sedikit berat di medan yang datar, becak dan pedati sebenarnya juga ramah lingkungan. Namun untuk jarak jauh dan beban raksasa, tentu saja kereta listrik lebih ramah lingkungan. Listriknya bisa dibangkitkan terpusat pada Pusat Listrik Tenaga Air, Panas Bumi atau sejenisnya. Kendaraan umum seperti bus juga lebih ramah lingkungan dibanding mobil pribadi. Lebih ramah lagi jika menggunakan baterei listrik. Di Swiss sudah 20 tahun digunakan bus listrik dengan baterei berupa gandengan kecil, yang jika mendekati kosong gampang diganti dengan yang penuh, sambil menunggu yang kosong diisi ulang.
Untuk transportasi individual bermesin, mobil listrik lebih ramah lingkungan dibanding mobil biasa. Masalahnya, kapasitas baterei dalam menyimpan energi saat ini masih belum sebanyak bensin pada berat yang sama. Nilai optimal baterei ini baru akan tercapai kalau menggunakan sel bahan bakar (fuel-cell), di mana energi disimpan dalam air yang dipisahkan (elektrolisa) ke hidrogen dan oksigen. Reaksi hidrogen-oksigen akan menghasilkan energi sangat besar dengan limbah kembali berupa air. Namun teknologi fuel cell saat ini masih sangat mahal (belum layak pasar).
Saat ini, mobil listrik baru dipakai secara terbatas di bandara atau rumah sakit. Namun beberapa industri mobil sudah meluncurkan mobil hybrid (misalnya Toyota Prios), yang berpenggerak listrik dan bensin. Saat macet, mesin listrik yang bekerja. Saat kecepatan optimal, mesin bensin akan mengambil alih. Jika diperlambat, energi mesin bensin dipakai untuk mengisi baterei.
Pada level sederhana, banyak inovasi juga dapat digunakan pada kendaraan biasa. Misalnya alat tambahan yang dapat dipasang untuk mengoptimalkan pembakaran. Pabrik mobil juga berlomba mengembangkan “3-liter-cars” – mobil yang dengan 3 liter bensin dapat menempuh jarak 100 Km.
Di laut juga dikembangkan kapal modern yang lebih ramah lingkungan, yakni yang menggunakan mesin dan sekaligus layar mekanis! Layar ini dapat dikembangkan otomatis jika arah dan kecepatan angin menguntungkan. Penggunaan energi angin dapat menghemat bahan bakar hingga 50%.
Teknologi energi dan transportasi yang ramah lingkungan termasuk yang saat ini paling dilindungi oleh industri negara maju dan karenanya paling mahal.



kapal modern dengan layar mekanis

Informasi dan Komunikasi
Komunikasi elektronik adalah sangat ramah lingkungan jika diterapkan dengan tepat. Telekomunikasi akan mengurangi kebutuhan transportasi, berarti hemat energi. Informasi juga dapat disebarkan tanpa kertas (paperless) sehingga mengurangi jumlah pohon yang harus ditebang.
Teknologi kertas daur ulang juga termasuk bagian upaya ramah lingkungan di sektor informasi. Dalam hal ini, tinggal menunggu kesadaran para penerbit. Jika di Indonesia, para penerbit justru berlomba menggunakan kertas yang putih agar terkesan lux, di luar negeri getol dikembangkan kertas daur ulang. Konon untuk mencetak novel Harry Potter 7, sampai dikembangkan 32 jenis baru kertas daur ulang. Penerbit di Kanada menggunakan kertas daur ulang 100%, sementara di Amerika baru 30%. Upaya ini sudah membuat edisi bahasa Inggris novel ini menghemat penebangan hampir 200 ribu pohon dan 8 juta kg gas rumah kaca.

Kesimpulan
Dengan demikian, bila ada kemauan kuat, sebenarnya banyak yang sudah dapat dilakukan oleh negara ataupun masyarakat negara berkembang untuk menjadikan negeri mereka lebih ramah lingkungan, tanpa harus menunggu belas kasihan atau hutang transfer teknologi dari negara-negara maju, yang umumnya dikaitkan beberapa syarat politis, syarat-syarat yang bernuansa penjajahan.
Teknologi yang dipatenkan oleh industri di negara maju pun, setelah 20 tahun akan habis patennya, dan dapat ditiru dan dikembangkan lebih lanjut oleh siapapun. Para ilmuwan, peneliti dan insinyur negara-negara berkembang harus lebih proaktif, kreatif dan tidak pasrah pada situasi, atau justru malah bangga sekedar menjadi karyawan atau buruh murah bagi industri dari negara-negara maju.
Jadi tak benar bila semuanya urusan bisnis. Masalah transfer teknologi adalah soal kegigihan negara berkembang untuk merebut teknologi serta niat baik negara maju untuk berbagi.
http://famhar.multiply.com/

ANTISIPASI PERUBAHAN IKLIM

Oleh : Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal

Pada tahun 1970-an setiap murid SD selalu mendengar dari guru IPA-nya bahwa Indonesia mengalami musim kemarau pada bulan April hingga Oktober, dan musim penghujan dari Oktober hingga April. Musim ini diselingi perubahan arah angin dan cuaca yang khas yang disebut pancaroba. Namun kini, musim kita tampaknya semakin ”kacau”. Di Jawa, hujan lebat masih turun disertai angin kencang hingga Juni ini – sehingga kita sebut ”kemarau basah”. Sementara itu, di bulan Desember tahun lalu masih banyak sawah yang kekeringan karena hujan belum juga turun.


Fenomena ini sebenarnya sudah cukup lama diprediksi para ahli, bahkan Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) sampai membentuk ”badan dunia untuk kerangka kesepakatan atas perubahan iklim” atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dalam pertemuan puncak di Rio de Janeiro tahun 1992.
Pertumbuhan penduduk dan peningkatan standar hidup telah memacu peningkatan penggunaan energi, yang dampaknya meningkatkan kadar gas karbon dioksida (CO2) di atmosfir. Gas ini menimbulkan efek rumah kaca (greenhouse-effect) yaitu memerangkap panas dari sinar matahari, sehingga secara keseluruhan suhu atmosfir bumi meningkat. Beberapa teori memprediksi kondisi ini akan mencairkan salju abadi di kutub-kutub atau gunung-gunung tinggi, sehingga paras laut naik, pulau-pulau kecil tenggelam dan pada saat yang sama gurun pasir meluas, masa tanam mundur dan kebakaran hutan lebih sering terjadi. Kebakaran hutan akan menimbulkan efek berantai yaitu semakin menambah kadar gas rumah kaca tadi.
Banyak ahli mengembangkan model-model untuk mempelajari dan menghitung efek perubahan iklim ini. Mereka kesulitan dalam mengkalibrasi model-model itu guna menentukan model mana yang paling tepat. Hal ini karena data untuk menghitung jumlah CO2 (Greenhouse-gas Inventory) yang ada di tiap tempat dari waktu ke waktu dianggap kurang memadai atau penuh dengan asumsi. Sejumlah ahli bahkan masih percaya bahwa naiknya CO2 akan secara alami disetimbangkan oleh lautan. Naiknya CO2 membuat air laut lebih reaktif dan mengikat CO2 tersebut. Mereka menduga bahwa di masa lampau, di saat aktivitas vulkanik gunung-gunung berapi masih sangat tinggi, tentu CO2 di atmosfir juga jauh lebih tinggi dari sekarang. Persoalannya, berapa lama kesetimbangan alam itu akan tercipta kembali, dan apakah manusia bisa bertahan melewati masa adaptasi tersebut?
Pada 1997 di Kyoto Jepang ditandatangani protokol untuk mengurangi kadar CO2 (disebut Kyoto Protocol). Namun sayangnya dua negara besar yaitu China dan Amerika Serikat menolak meratifikasi protokol itu, walau dengan alasan yang berbeda. China berposisi bahwa aktivitas ekonominya masih jauh di bawah negara-negara industri maju. Pengurangan CO2 berarti menutup kesempatan rakyat China untuk menikmati standar hidup yang lebih baik. Sedang pemerintah Bush lebih percaya penasehatnya yang menolak keabsahan model-model iklim itu.
Faktanya, selama ini AS adalah “juara” penghasil CO2, yaitu 39% dunia. Negara-negara G-8 (AS, Jepang, Jerman, Canada, Inggris, Perancis, Italia dan Rusia) total membuang CO2 68% dunia. Artinya, jumlah CO2 dari seluruh negara lainnya, termasuk Indonesia dan China kurang dari 32%.
Mereka yang percaya perubahan iklim global bahkan telah mengembangkan model-model dampak sosial-ekonomi perubahan ini. Misalnya naiknya suhu rata-rata 2º Celcius saja akan membuat sekian puluh juta penduduk pantai di daerah tropis semakin miskin karena kehilangan habitat dan matapencahariannya akibat makin seringnya gelombang pasang terjadi – seperti pernah mengejutkan kita beberapa waktu yang lalu.
Negara-negara maju anggota UNFCCC pada awalnya punya komitmen untuk membantu secara finansial negara-negara berkembang dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim ini. Untuk itu negara-negara berkembang diwajibkan untuk melakukan sejumlah hal seperti menjaga hutan-hutannya serta menyerahkan data Greenhouse gas-inventory.
Namun setelah sepuluh tahun Kyoto Protokol, negara-negara berkembang semakin sadar bahwa ada faktor-faktor institusional yang sangat sulit diatasi, yaitu: (1) negara-negara industri terdepan di dunia (dikenal dengan G-8) sudah berada pada “zona nyaman”, sehingga malas untuk berubah; (2) di dunia saat ini tidak ada skema ekonomi alternatif yang berskala global; dan (3) PBB ternyata tidak punya kapasitas politik yang cukup. Faktanya, politik PBB dan ekonomi dunia saat ini sangat ditentukan oleh politik dan aktivitas korporasi Amerika Serikat – yang menolak meratifikasi protokol Kyoto tadi.
Maka semakin jelas bahwa untuk menyelamatkan planet ini dari kehancuran ekologis, perlu paradigma dan sistem politik dan ekonomi global yang baru. Sistem politik dan ekonomi kapitalistis-sekuler terbukti gagal. Perlu ada sistem alternatif yang bersandar kepada Sang Pencipta Yang Maha Tahu. Allah berfirman:
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. 30: 41)
Sistem alternatif bagi dunia yang sekaligus adalah sistem satu-satunya bagi kaum muslimin itu adalah sistem pemerintahan Islam global (khilafah). Syariat Islam yang diterapkan secara menyeluruh oleh khilafah akan mengatasi masalah CO2 ini sejak dari akarnya. CO2 akan dikurangi dari sisi demand maupun supply.
Dari sisi demand: CO2 dihasilkan dari penggunaan energi konvensional (minya, gas, batubara). Semakin materialis gaya hidup seseorang, makin banyak energi dihabiskannya dan semakin banyak pula CO2 akan dibuangnya. Dengan digantinya paradigma kebahagiaan dengan paradigma Islam, maka sekaligus dua masalah teratasi: kebutuhan energi dan CO2. Bentuk mengurangi demand ini bisa berupa penataan ruang baik makro maupun mikro yang lebih baik, sehingga mengurangi kebutuhan energi untuk transportasi, penerangan atau penyejuk udara.
Sedang dari sisi supply, penggunaan energi terbarukan seperti energi surya dalam berbagai bentuknya (solar-cell, solar-farm, solar-tank), energi angin (wind-farm), energi air (dari mikrohidro sampai PLTA), energi ombak, energi suhu laut (Ocean-Thermal-Energi-Conversion, OTEC), pasang surut, panas bumi (geothermal) hingga bio-energi (biomass, biogas, biofuel hingga enegi otot hewan) dapat membantu menurunkan penggunaan energi konvensional, dan pada akhirnya mengantisipasi perubahan iklim.