22 Februari 2009

MENGENAL HAKIKAT KEPEMILIKAN & PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN

Oleh :
Busran *)

Sumber Daya Alam (SDA) dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari alam yang dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Secara teoritis SDA terbagi dua, yaitu : satu, SDA yang dapat diperbaharui seperti air, tanah, tumbuhan dan hewan dan dua, SDA yang tidak dapat diperbaharui seperti pasir laut, emas, minyak bumi, batu bara, nikel, timah, dll.

Pengelolaan SDA tersebut di atas sangat tergantung kepada jenis kepemilikan dari SDA itu sendiri. Menurut penulis (sebagaimana halnya telah ditetapkan oleh syariat Islam), terdapat tiga jenis kepemilikan terhadap SDA, yaitu : 1) pemilikan pribadi, 2) negara dan 3) umum. Pemilikan pribadi merupakan pemilikan yang dapat dimiliki secara individual (rumah, mobil, sawah, toko, dll). Pemilikan negara adalah pemilikan pribadi yang merupakan aset negara (mobil dinas, kantor, fasilitas umum, dll). Pemilikan umum adalah milik semua rakyat, bukan milik pribadi atau negara.

Hutan, Sumber Daya Berlimpah yang Salah Urus
Sampai dengan tahun 2004, dari kawasan hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar telah ditunjuk oleh Menteri Kehutanan seluas 109,9 juta hektar. Kawasan hutan tersebut terdiri dari hutan konservasi seluas 23,24 juta hektar, hutan lindung seluas 29,1 juta hektar, hutan produksi terbatas seluas 16,21 juta hektar, hutan produksi seluas 27,74 hektar dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 13,67 juta hektar (Anonim, 2005).
Selama tiga dekade terakhir, sumber daya hutan telah menjadi modal utama pembangunan ekonomi nasional, yang memberi dampak positif antara lain terhadap peningkatan devisa, penyerapan tenaga kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan pertumbuhan ekonomi. BPS (2000) menunjukkan devisa sektor kehutanan pada Pelita VI (1992-1997 tercatat sebesar US $ 16,0 milyar, atau sekitar 3,5 % dari PDB nasional.
Kegiatan eksploitasi hutan secara besar-besaran dimulai sejak tahun 1970-an, yang dimulai dengan terbitnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan. Seiring dan sejalan dengan hal tersebut, diterbitkan pula Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), yang memberi ruang yang lebar bagi para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Selanjutnya diikuti pula dengan berbagai kebijakan yang memungkinkan para pengusaha besar untuk menguasai dan membabat hutan guna membesarkan modalnya, misalnya Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1970 tentang Pengusahaan Hutan, Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1990 tentang Hutan Tanaman Industri dan peraturan lainnya yang secara nyata tidak berpihak pada rakyat (Kelanajaya, 2002).
Meski dalam Forest Agreement tidak menyebutkan bahwa penguasaan pengelolaan sumber daya alam (hutan) tersebut bukan dalam bentuk hak milik, namun yang berhak memiliki hasil bersih dari sumber daya hutan yang telah dieksploitasi tersebut tetaplah para pemegang sahamnya (setelah dikurangi biaya produksi, PSDH dan DR, pajak, gaji karyawan dan lain-lain). Sebagai contoh, sebagaimana dikutip Agustianto, 2005 dalam Al-Jawi, 2006, menurut laporan WALHI yang diterbitkan tahun 1993 saja, rata-rata hasil hutan Indonesia tiap tahunnya 2,5 miliar dolas AS. Pada tahun 2005 diperkirakan hasilnya mencapai sekitar 7-8 miliar dolar AS. Namun, menurut Sembiring (1994) sebagaimana dikutip Al-Jawi (2006), semua orang juga tahu, kini Indonesia menjadi negara bangkrut. Dari hasil hutan sejumlah itu, yang masuk ke dalam kas negara ternyata hanya 17 %, sedangkan yang 83 % masuk ke kantong pengusaha IUPHHK (dulu HPH) yang tidak bertanggung jawab.
Pengelolaan hutan dengan sistem HPH sebenarnya bukan asli Indonesia, melankan ditiru dari Belanda. Sistem pemberian HPH yang beratus tahun lalu sesungguhnya sudah dianggap salah oleh Belanda dan sangat merugikan rakyat itu, kemudian tepatnya tahun 1968 diterapkan oleh rezim Orde Baru. Saat itu pemerintah memang benar-benar sedang membutuhkan dana untuk biaya pembangunan sehingga hampir setengah dari seluruh luas hutan Indonesia yang 120 juta hektar itu diperkenankan untuk diambil kayunya (Yusanto, 2002).
Kemudian pada tahun 1999, UU Pokok Kehutanan Nomor 5 Tahun 1967 direvisi dengan UU Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999. Mengapa direvisi ? Sebab UU Nomor 5 Tahun 1967 itu hanya menekankan produksi (alias rakus). Lalu lahirlah UU Nomor 41 Tahun 1999 yang agak mendingan karena sudah memperhitungkan konservasi dan partisipasi masyarakat (Nurrochmat, 2005 dalam Al-Jawi, 2006).
Karena hanya menekankan produksi, wajar jika hutan Indonesia lalu dikelola seperti halnya pengelolaan tambang (minning management) sehingga aspek kelestarian berada pada titik terendah, sementara kegiatan penebangan berada pada titik tertinggi. Dampaknya ? Sangat jelas, akan mengakibatkan kerusakan hutan yang sangat dahsyat. PT. Inhutani, BUMN di bawah pengelolaan teknis Departemen Kehutanan, pernah meneliti bahwa eksploitasi hutan melalui pola HPH ternyata menimbulkan kerusakan hutan lebih dari 50 juta hektar. Kini areal kerusakan hutan mencapai 56,98 juta hektar.
Konflik kepentingan antara kehutanan dan pertambangan juga telah menyebabkan kawasan hutan lindung atau konservasi saat ini benar-benar sudah terancam keberadaannya diantaranya hutan lindung Pulau Gag-Papua yang sudah resmi menjadi lokasi proyek PT. Gag Nickel, Taman Hutan Raya Poboya-Paneki oleh PT. Citra Palu Mineral/Rio Tinto, Palu Sulawesi Tengah dan Taman Nasional Meru Betiri di Jember Jawa Timur oleh PT. Jember Metal, Banyuwangi Mineral dan PT. Hakman. Belum lagi ancaman terhadap kawasan konservasi lainnya yang hampir semuanya dijarah oleh perusahaan tambang, seperti Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah oleh PT. Mandar Uli Minerals/Rio Tinto, Taman Nasional Kerinci Seblat oleh PT. Barisan Tropikal Mining dan Sari Agrindo Andalas, kawasan hutan lindung Cagar Alam Aketajawe dan Lalobata, Maluku Tengah oleh Weda Bay Minerals, hutan lindung Meratus Kalimantan Selatan oleh PT. Pelsart Resources NL dan Placer Dome, Taman Nasional Wanggameti oleh PT. BHP, Cagar Alam Nantu oleh PT. Gorontalo Minerals dan Taman Wisata Pulau Buhubulu oleh PT. Antam Tbk (Kelanajaya, 2002).
Walhasil, hutan yang semestinya menjadi sumber kekayaan rakyat Indonesia ternyata hasilnya nyaris tidak dirasakan oleh mayoritas rakyat karena mengalami kegagalan dalam pengelolaannya.

Mengapa Gagal ?
Irawan (2005) dalam Al-Jawi (2006) menyebutkan bahwa kegagalan pengelolaan hutan selama ini adalah akibat kesalahan pembuat kebijakan, termasuk penyelewengan pelaksanaan regulasi, dan penyimpangan dalam tataran teknis di lapangan. Kesalahan pembuat kebijakan tersebut berangkat dari satu asumsi bahwa hutan sebagai sumber daya nasional harus dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Atas dasar asumsi tersebut, yakni bahwa dalam rangka memperoleh manfaat yang optimal dari hutan dan kawasan hutan bagi kesejahteraan masyarakat, pada prinsipnya semua hutan dan kawasan hutan dapat dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan sifat, karateristik, dan kerentanannya serta tidak dibenarkan merubah fungsi pokoknya.
Pada dasarnya, asumsi tersebut sah-sah saja. Yang kemudian menjadi permasalahan adalah ketika pengelolaan dan pemanfaatan hutan dan kawasan hutan tersebut diserahkan sepenuhnya kepada pihak swasta atau pengusaha yang notabene mereka akan selalu menerapkan prinsip-prinsip ekonomi yang berakar dari sistem kapitalisme, ‘pengeluaran minimal untuk mendapatkan keuntungan maksimal’. Sehingga yang kemudian terjadi adalah mereka tidak akan sungkan untuk melakukan apapun untuk memuluskan segala kepentingannya guna mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, termasuk menyuap para pengambil kebijakan.
Selain itu, karakter kapitalisme yang individualis telah mewujud dalam sikap menomorsatukan kepemilikan individu (private property) sebagai premis ekonomi dalam kapitalisme (Heilbroner,1991 dalam Al-Jawi, 2006). Wajarlah jika dalam pengelolaan hutan, hutan dipandang sebagai milik individu, yakni milik pengusaha melalui pemberian HPH/IUPHHK yang diberikan oleh penguasa.
Selain mengutamakan kepemilikan individu, pendekatan kapitalisme yang utilitarian telah melahirkan sikap eksploitatif atas sumber daya alam seraya mengabaikan aspek moralitas (Heilbroner, 1991 dalam Al-Jawi, 2006). Utilitarianisme menilai baik buruknya suatu tindakan berdasarkan akibatnya bagi banyak orang. Tindakan publik tidak dinilai sebagai baik atau buruk berdasarkan nilai kebijakan atau tindakan itu sendiri. Pijakan obyektif yang digunakan adalah dengan melihat apakah suatu kebijakan atau tindakan publik tersebut membawa manfaat atau akibat yang berguna, atau sebaliknya membawa kerugian bagi orang-orang terkait. Artinya hanya sekedar mementingkan aspek kemanfaatan dari sebuah kebijakan.
Hal inilah yang dapat menjelaskan mengapa dalam pengelolaan hutan selama ini sering terjadi penyelewengan pelaksanaan regulasi, misalnya perusahaan IUPHHK-Alam (HPH) melakukan penebangan di luar areal kerjanya dan di luar blok RKT yang ditetapkan, menebang melebihi toleransi volume yang diperkenankan, menebang di bawah limit diameter yang ditetapkan, dan lain-lain. Juga termasuk penyimpangan dalam tataran teknis di lapangan, misalnya penyimpangan aturan TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia) misalnya tidak dilaksanakannya pembinaan hutan, penanaman tanah kosong, dan lain-lain.

Hutan Sebagai Sumber Daya Milik Umum
Hakikatnya, hutan adalah milik Allah, SWT yang diamanahkan kepada manusia untuk memelihara dan mengelolanya dengan sebaik-baiknya. Allah, SWT sebagai pencipta manusia dan seluruh alam raya ini berikut segala isinya termasuk hutan telah membekali manusia guna mengemban tugasnya di bumi dengan seperangkat aturan dan hukum yang jelas dan tegas yakni syariat Islam.
Islam telah memecahkan masalah kepemilikan hutan dengan tepat, yaitu hutan termasuk dalam kepemilikan umum. Tercakup dalam sektor ini adalah barang tambang, minyak, gas, listrik, dan sebagainya. Ketentuan ini didasarkan pada hadits Nabi saw. :
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal : dalam air, padang rumput dan api. Harga (memperjualbelikannya) adalah haram” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah). Begitu juga sabdanya : “Tiga hal yang tidak akan pernah dilarang (untuk dinikmati siapapun adalah air, padang rumput dan api.” (HR. Ibnu Majah).
Hadits ini menunjukkan bahwa tiga benda tersebut adalah milik umum, karena sama-sama mempunyai sifat tertentu sebagai ‘illat (alasan penetapan hukum), yakni menjadi hajat hidup orang banyak. Dengan demikian, hutan adalah milik umum, karena di-qiyas-kan atau dianalogkan dengan tiga benda di atas berdasarkan sifatnya yang sama dengan tiga benda tersebut, yaitu menjadi dan menguasai hajat hidup orang banyak.

Kewajiban Pengelolaan Hutan Hanya Oleh Negara
Dalam pandangan Islam, hutan adalah milik umum yang harus dikelola hanya oleh negara dimana hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer semisal pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum. Paradigma pengelolaan hutan milik umum yang berbasis swasta atau corporate based management harus dirubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh negara (state based management) dengan tetap berorientasi pada kelestarian sumber daya (sustainable resources principle).
Memang, dalam penjelasan Pasal 23 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dijelaskan bahwa hutan sebagai sumber daya nasional harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi masyarakat sehingga tidak boleh terpusat pada seseorang, kelompok atau golongan tertentu. Oleh karena itu pemanfaatan hutan harus didistribusikan secara berkeadilan melalui peningkatan peran serta masyarakat, sehingga masyarakat semakin berdaya dan berkembang potensinya. Hal ini mengindikasikan bahwa pengelolaan hutan boleh diserahkan kepada perorangan, kelompok atau golongan tertentu selama tidak terpusat atau dengan kata lain harus terdistribusi secara merata.
Ironisnya, penyerahan pengelolaan hutan oleh negara (dalam hal ini Pemerintah) kepada perorangan, koperasi atau badan usaha milik swasta, dianggap sebagai bentuk dari pengurusan hutan oleh Pemerintah. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 4 UU Nomor 41 Tahun 1999, dimana dijelaskan bahwa penguasaan hutan oleh negara memberikan wewenang kepada negara untuk mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan. Padahal, hutan adalah milik umum yang hanya boleh dikelola oleh negara.
Zallum (1983: 81-82) menerangkan ada dua cara pemanfaatan kepemilikan umum. Pertama : untuk benda-benda milik umum yang mudah dimanfaatkan secara langsung, seperti jalan umum, rakyat berhak memanfaatkannya secara langsung. Namun, disyaratkan tidak boleh menimbulkan bahaya (dharar) kepada orang lain dan tidak menghalangi hak orang lain untuk turut memanfaatkannya. Kedua : untuk benda-benda milik umum yang tidak mudah dimanfaatkan secara langsung serta membutuhkan keahlian, sarana atau dana besar untuk memanfaatkannya, seperti tambang gas, minyak, dan emas, hanya negaralah-sebagai wakil dari warga negara-yang berhak untuk mengelolanya. Rasulullah saw. bersabda : “Imam adalah ibarat penggembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya (rakyatnya)”. (HR. Muslim).
Atas dasar itu, pengelolaan hutan menurut Islam hanya boleh dilakukan oleh negara (Khalifah), sebab pemanfaatan atau pengelolaan hutan tidak mudah dilakukan oleh orang per orang serta membutuhkan keahlian, sarana, atau dana yang besar. Tetapi kemudian tidak berarti bahwa ketika ada seseorang, kelompok atau golongan tertentu yang memiliki keahlian, sarana atau dana dan kemampuan untuk melakukan pengelolaan hutan, lantas hutan dan segala hasil-hasilnya boleh diserahkan kepada mereka.
Dikecualikan dalam hal ini, pemanfaatan hutan yang mudah dilakukan secara langsung oleh individu (misalnya oleh masyarakat sekitar hutan) dalam skala terbatas di bawah pengawasan negara. Misalnya, pengambilan ranting-ranting kayu, atau penebangan pohon dalam skala terbatas, atau pemanfaatan hutan untuk berburu hewan liar, mengambil madu, rotan, buah-buahan dan air dalam hutan yang diyakini tidak akan menyebabkan terjadinya perubahan ekosistem yang berarti. Semua ini dibolehkan selama tidak menimbulkan bahaya dan tidak menghalangi hak orang lain untuk turut memanfaatkan hutan.

Pengawasan dan Penegakan hukum
Fungsi pengawasan operasional lapangan dijalankan oleh lembaga peradilan, yaitu Muhtasib (Qadhi hisbah) yang tugas pokoknya adalah menjaga terpeliharanya hak-hak masyarakat secara umum (termasuk pengelolaan hutan). Muhtasib, misalnya menangani kasus pencurian kayu hutan atau pembakaran dan perusakan hutan. Dalam bertugas, Muhtasib disertai aparat polisi (syurthah) yang berada di bawah wewenangnya. Muhtasib dapat bersidang di lapangan (hutan) dan menjatuhkan vonis di lapangan. Adapun fungsi pengawasan keuangan dijalankan oleh para Bagian Pengawasan Umum (Diwan Muhasabah Amah) yang merupakan bagian dari institusi Baitul Mal (Zallum, 1983).
Hal ini menunjukkan adanya hak bagi Negara untuk menjatuhkan sanksi ta’zir yang tegas atas segala pihak yang merusak hutan. Orang yang melakukan pembalakan liar, pembakaran hutan, penebangan di luar batas yang dibolehkan dan segala macam pelanggaran lainnya terkait hutan wajib diberi sanksi ta’zir yang tegas oleh negara (peradilan). Ta’zir ini dapat berupa denda, cambuk, penjara, bahkan sampai hukuman mati; bergantung pada tingkat bahaya dan kerugian yang ditimbulkannya. Prinsipnya, ta’zir harus sedemikian rupa menimbulkan efek jera agar kejahatan perusakan hutan tidak terjadi lagi dan hak-hak seluruh masyarakat dapat terpelihara. Seorang cukong illegal logging, misalnya, dapat digantung lalu disalib di lapangan umum atau disiarkan di stasiun TV nasional maupun TV swasta.
Disamping itu, Negara juga wajib mencegah segala bahaya (dharar) atau kerusakan (fasad) pada hutan. Dalam kaidah fikih dikatakan : “Segala bentuk kemadharatan atau bahaya itu wajib dihilangkan”. Lebih lanjut Nabi saw. bersabda : “Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun membahayakan orang lain”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah). Lebih tegas, Allah, SWT menekankan : “Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya.” (QS. Al-A’raf (7) : 56).
Ketentuan pokok ini mempunyai banyak sekali cabang peraturan teknis yang penting, antara lain, negara wajib mengadopsi sains dan teknologi yang dapat menjaga kelestarian hutan, misalnya teknologi konservasi dan sumber daya alam, sistem TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia) atau Tebang Jalur Tanam Konservasi (TJTK) atau TPTII (Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif) ataupun sistem silvikultur lainnya; negara wajib juga melakukan konservasi hutan, menjaga keanekaragaman hayati (biodiversity), melakukan penelitian dan pengembangan kehutanan, dan sebagainya.
Begitu juga penegakan hukum dalam pengelolaan hutan adalah suatu keniscayaan untuk mencegah perusakan sumber daya hutan dan pencemaran lingkungan. Perlunya rehabilitasi kawasan yang rusak dan pemeliharaan kawasan konservasi yang sudah ada, selain penetapan kawasan konservasi baru di wilayah tertentu serta peningkatan pengamanan terhadap perusakan sumber daya hutan secara partisipatif melalui kemitraan denagn masyarakat.

Hasil Pengelolaan Hutan dan Pendistribusiannya
Segala penghasilan dari pengelolaan hutan dan hasil hutan menjadi sumber pendapatan kas negara (Baitul Mal) dari sektor Kepemilikan Umum. Mengenai distribusi hasil hutan, negara tidak terikat dengan satu cara tertentu yang baku. Negara boleh mendistribusikan hasil hutan dalam berbagai cara sepanjang untuk kemaslahatan rakyat dalam bingkai syariat Islam. Kaidah fikih menyebutkan : “Kebijakan Imam/Khalifah dalam mengatur rakyatnya berpatokan pada asas kemaslahatan”.
Pemasukan dari sektor kepemilikan umum ini, hasilnya dapat digunakan untuk : pertama, biaya eksploitasi sumber daya hutan, mulai dari biaya tenaga kerja, pembangunan infrastruktur, penyediaan perlengkapan, dll. Kedua, dibagikan langsung kepada masyarakat yang pada dasarnya merupakan pemilik yang sah dari sumber daya hutan dimaksud. Amirul Mukminin (Khalifah) bisa membagikannya dalam bentuk benda yang memang diperlukan oleh masayarakat seperti listrik, air, pelayanan kesehatan, dan lain-lain secara gratis atau langsung dalam bentuk uang hasil penjualan. Ketiga, membangun berbagai sarana dan prasarana untuk kepentingan umum seperti jalan, taman, rumah sakit, sekolah, dll. Dan keempat, sebagian hasil kepemilikan umum itu dapat dialokasikan untuk biaya penyebaran risalah Islam (dakwah) dan jihad, gaji pegawai negeri, tentara dan sebagainya.

Penutup
Dengan memenuhi ketentuan syariat Islam terhadap status sumber daya hutan dan bagaimana sistem pengelolaannya, bisa didapat dua keuntungan sekaligus. Yaitu, diperolehnya sumber pemasukan anggaran belanja negara yang cukup besar untuk mencukupi berbagai kebutuhan negara. Dan selanjutnya diharapkan mampu melepaskan diri dari ketergantungan terhadap utang luar negeri dalam pembiayaan pembangunan negara yang telah terbukti secara nyata telah menyengsarakan rakyat negeri ini.
Pengelolaan hutan merupakan perkara yang sangat serius dan strategis. Degradasi pengelolaan hutan saat ini lebih banyak disebabkan kelalaian manusia dalam mengikuti kaidah-kaidah syariat Islam dan keberanian manusia dalam melabrak kaidah-kaidah tersebut dan menggantinya dengan kaidah-kaidah lain (kapitalisme) yang bukan bersumber dari Yang Maha Benar dan Maha Tahu. Akhirnya, kegagalan yang sampai detik ini kita rasakan.
Akhirnya, semoga tulisan ini dapat sedikit memberikan wawasan pembanding tentang siapa pemilik sebenarnya dari sumber daya hutan dan siapa yang seharusnya mengelolanya serta kegagalan sistem kapitalisme yang saat ini sedang kita terapkan dan aplikasikan di semua lapangan kehidupan. Dengan demikian harapan agar hutan yang pada dasarnya menjadi sumber kekayaan rakyat Indonesia dapat memberikan hasilnya yang nyata dirasakan oleh rakyat. Semoga kita tidak terjerembab dalam lubang yang sama untuk kesekian kalinya.


1 komentar: