19 Februari 2009

Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA)

Makna dan Kepemilikan SDA

Sumber Daya Alam (biasa disingkat SDA) adalah segala sesuatu yang berasal dari alam yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Secara teoritis, SDA dibagi menjadi dua yaitu SDA yang dapat diperbarui dan SDA yang tidak dapat diperbarui. SDA yang dapat diperbarui meliputi air, tanah, tumbuhan dan hewan.



Makna dan Kepemilikan SDA

Sumber Daya Alam (biasa disingkat SDA) adalah segala sesuatu yang berasal dari alam yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Secara teoritis, SDA dibagi menjadi dua yaitu SDA yang dapat diperbarui dan SDA yang tidak dapat diperbarui. SDA yang dapat diperbarui meliputi air, tanah, tumbuhan dan hewan. SDA ini harus dijaga kelestariannya agar tidak merusak keseimbangan ekosistem. Sementara, SDA yang tidak dapat diperbarui itu contohnya barang tambang yang ada di bumi seperti pasir laut, emas, minyak bumi, batu bara, timah dan nikel. Dilihat dari tempatnya SDA terkandung dalam hutan, pantai, laut, dll.

Pengelolaan SDA tergantung pada jenis kepemilikannya. Ada tiga jenis kepemilikan yang dikenal dalam syariat Islam, yaitu kepemilikan pribadi, kepe-milikan negara, dan kepemilikan umum. Kepemilikan pribadi merupakan kepe-milikan yang dapat dimiliki secara individual seperti rumah, mobil, sawah, dll. Pemilikan negara merupakan pemi-likan pribadi yang merupakan aset negara, seperti kantor pemerintahan, mobil inventaris, dll. Sedangkan, pemili-kan umum merupakan pemilikan yang merupakan milik semua rakyat, bukan milik pribadi dan bukan pula milik negara. Semua bentuk pemilikan umum tidak boleh dikuasai secara individual, baik perorangan ataupun perusahaan. Pengelolaan pemi-likan umum diwakilkan kepada negara yang hasilnya dikembalikan kepada rakyat sebagai pemiliknya.

Rasulullah SAW bersabda, ”Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api. Harga (menjual-belikannya) adalah haram” (HR Abu Dawud). Begitu juga sabdanya, “Tiga hal yang tidak akan pernah dilarang (untuk dinikmati siapapun) adalah air, padang rumput dan api” (HR. Ibnu Majah). Berdasarkan hal ini, air (laut, sungai, danau, dll), padang rumput (hutan), dan api (bahan bakar minyak, batu bara, gas, listrik, dan sumber energi lainnya) merupakan milik ber-sama. Karenanya, termasuk dalam pemi-likan umum. Kata 'berserikat (syuroka)' menunjukkan tidak boleh dikuasai secara pribadi, tidak boleh diprivatisasi.

Imam at-Turmidzi dari Abyadh bin Hamal meriwayatkan Abyadh pernah meminta kepada Rasul untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul meluluskan permintaan itu, tetapi segera diingatkan oleh seorang sahabat, "Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (ma'u al-'iddu)." Rasulullah pun kemudian bersabda, "Tariklah tam-bang tersebut darinya." Tentu saja hadits itu tidak sedang berbicara tambang garam semata, melainkan sedang bicara segala sesuatu yang melimpah 'bagaikan air mengalir'. Buktinya, Rasulullah awalnya memberikannya tapi setelah dijelaskan jumlahnya bagaikan air beliau membatal-kannya.Penarikan kembali pemberian rasul kepada Abyadh adalah 'illat dari larangan atas sesuatu yang menjadi milik umum --termasuk dalam hal ini barang tambang yang kandungannya sangat banyak-- untuk dimiliki individu. Dalam hadits yang dituturkan dari Amr bin Qais lebih jelas lagi disebutkan bahwa yang dimaksud dengan garam di sini adalah tambang garam (ma'dan al-milh).

Menurut konsep kepemilikan dalam sistem ekonomi Islam, tambang yang jumlahnya sangat besar, baik yang tampak sehingga bisa didapat tanpa harus bersusah payah --seperti garam, batu-bara, pasir laut, dan sebagainya-- ataupun tambang yang berada di dalam perut bumi yang tidak bisa diperoleh kecuali dengan usaha keras --seperti tambang emas, perak, besi, tembaga, timah dan sejenis-nya-- baik berbentuk padat semisal kristal ataupun berbentuk cair, semisal minyak, termasuk milik umum. Artinya semuanya adalah tambang yang termasuk dalam pengertian hadits di atas.

Al-'Assal dan Karim (1999: 72-73), mengutip pendapat Ibn Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni mengatakan: ”Ba-rang-barang tambang yang oleh manu-sia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya, seperti halnya garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), petroleun, intan, dan lain-lain, tidak boleh dipertahankan selain oleh seluruh kaum Muslim (milik semua), sebab hal tersebut akan merugikan mereka”.



Pengelolaan SDA ala Islam

Hakikatnya, alam adalah milik Allah SWT yang diamanahkan kepada manusia untuk mengelolanya. Sumber daya alam yang merupakan milik umum harus dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat sebagai pemiliknya. Berdasarkan hal ini, ada beberapa prinsip dalam pengelolaan SDA. Pertama, SDA milik umum merupakan milik bersama dan untuk ber-sama. Karenanya, tidak boleh dikuasai oleh individu atau kelompok. Paradigma pengelolaan SDA milik umum yang berbasis swasta (corporate based mana-gement) diubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh negara (state based management) dengan tetap ber-orientasi kelestarian sumber daya (sustainable resources principle). Ba-rang-barang seperti minyak, gas, emas, nikel, laut, air, hutan, dll semuanya harus dalam manajemen negara. Tidak boleh diprivatisasi. Tidak dibenarkan laut, hutan, pantai, dan milik umum lainnya dikapling-kapling untuk perusahaan swasta. Perusahaan swasta boleh diser-takan sebagai kontraktor, misalnya, atau kerjasama namun tetap penguasaan dan kebijakannya ada pada perusahaan negara.

Kedua, hasil hutan dan barang tam-bang serta milik umum lainnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer (sandang, papan dan pangan) serta kebutuhan pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum. Pendapat-an dari pengelolaan SDA milik umum ini masuk ke dalam pos pendapatan negara yang dikembalikan pada rakyat. Bila harta milik umum tidak dikembalikan kepada rakyat, ini merupakan pengkhianatan, sebab berarti merampas harta dari pemiliknya yang sah.

Ketiga, dalam pengelolaan, eksplorasi dan eksploitasi SDA harus memper-hatikan kelestarian alam dan lingkungan serta keberlanjutan pembangunan. Pe-ngelolaan SDA, baik yang dapat diper-barui maupun yang tidak dapat diper-barui, harus memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dan sosial budaya masyarakat, untuk men-capai efisiensi secara ekonomis dan ekologis (ekoefisiensi) dengan menerap-kan teknologi dan cara yang ramah lingkungan. Penegakan hukum merupa-kan suatu keniscayaan dalam pengelolaan SDA untuk menghindari perusakan SDA dan pencemaran lingkungan. Perlu senantiasa dilakukan rehabilitasi kawas-an rusak dan pemeliharaan kawasan konservasi yang sudah ada, penetapan kawasan konservasi baru di wilayah tertentu serta peningkatan pengamanan terhadap perusakan SDA secara partisi-patif melalui kemitraan masyarakat. Ibnu Chaldun menyatakan bahwa manusia harus memanfaatkan kekayaan alam untuk kemaslahtan manusia dengan tetap menjaga kelestariannya. Abu Yusuf, Ma-wardi dan Abu Ya'la menegaskan agar tidak membiarkan kekayaan alam tidak termanfaatkan. Lebih dari itu, banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang melarang manusia berbuat kerusakan di muka bumi. Untuk itu, pengelolaan SDA memerlukan orang-orang yang profe-sional dan amanah.



Penggunaan Hasil SDA

Dengan memahami ketentuan syariat Islam terhadap status sumber daya alam dan bagaimana sistem pengelolaannya bisa didapat dua keuntungan sekaligus, yakni didapatnya sumber pemasukan bagi anggaran belanja negara yang cukup besar untuk mencukupi berbagai kebutuhan negara dan dengan demikian diharapkan mampu melepaskan diri dari ketergan-tungan terhadap utang luar negeri bagi pembiayaan pembangunan negara.

Pemasukan negara antara lain diper-oleh dari sektor kepemilikan individu, seperti melalui zakat, infak dan sodakoh. Selain itu, diperoleh dari sektor kepe-milikan negara seperti fa'i, ghanimah, kharaj, rikaz, 10% tanah usyriyah, jizyah, waris yang tidak ada ahli warisnya, dan lain-lain. Pemasukan lainnya dari sektor kepemilikan umum. Tercakup dalam sektor ini semua hasil SDA milik umum berupa barang tambang, minyak, gas, listrik, hasil hutan, pasir laut, dan lain-lain.

Pemasukan sektor pemilikan umum digunakan untuk: (1) biaya eksplorasi dan eksploitasi SDA, mulai dari biaya tenaga kerja, infrastruktur, dan hal-hal terkait; (2) Membagikan hasilnya secara langsung kepada masyarakat yang memang sebagai pemilik SDA tersebut. Khalifah boleh membagikannya dalam bentuk benda yang memang diperlukan seperti air, gas, minyak, dan listrik secara gratis; atau dalam bentuk uang hasil penjualan untuk meningkatkan usaha kecil dan menengah. (3) Membangun kepentingan umum seperti jalan, taman, dll. (4) Sebagian hasil kepemilikan umum ini dapat dialokasikan untuk biaya dakwah dan jihad, gaji pegawai negeri, tentara, dan sebagainya. (mr kurnia)



1 komentar:

  1. Perasaan aturan yg sejenis ini dah berapa kali dirobah ya?? tapi kok honornya dalam bentuk teks melulu?

    BalasHapus