23 Maret 2009

REPOSISI PERAN NEGARA DALAM PENGELOLAAN HUTAN

Oleh :
Busran, S. Hut.

Pendahuluan
Siapapun tentunya sepakat bahwa hutan termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal ini dapat dipahami dari Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.


Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) tersebut diuraikan bahwa pengertian “dikuasai” bukan berarti “memiliki”, melainkan suatu pengertian yang mengandung kewajiban-kewajiban dan wewenang-wewenang (Negara) dalam bidang hukum publik, yaitu :
1. Mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan;
2. Menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan
3. Mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.
Hal ini mengindikasikan bahwa pengelolaan hutan boleh diserahkan kepada perorangan, kelompok atau golongan tertentu selama tidak terpusat atau dengan kata lain harus terdistribusi secara merata sebagaimana penjelasan Pasal 23 UU Nomor 41 Tahun 1999. Ironisnya, penyerahan pengelolaan hutan oleh negara (dalam hal ini Pemerintah) dalam bentuk izin usaha pemanfaatan kepada perorangan, koperasi atau badan usaha milik swasta, dianggap sebagai bentuk dari pengurusan hutan oleh Pemerintah. Demikianlah watak asli kapitalisme.

Potret Buruk Pengelolaan Hutan dalam Cengkeraman Kapitalisme
Pengelolaan hutan pada dasarnya menjadi kewenangan pemerintah dan atau pemerintah daerah sebagai konsekuensi dari pengurusan hutan (penjelasan Pasal 21) diantaranya mengatur mengenai pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan. Selanjutnya dalam pejelasan Pasal 23 dijelaskan bahwa hutan sebagai sumber daya nasional harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi masyarakat sehingga tidak boleh terpusat pada seseorang, kelompok atau golongan tertentu. Oleh karena itu pemanfaatan hutan harus didistribusikan secara berkeadilan melalui peningkatan peran serta masyarakat, sehingga masyarakat semakin berdaya dan berkembang potensinya. Oleh karenanya, pengelolaan hutan boleh diserahkan kepada perorangan, kelompok atau golongan tertentu selama tidak terpusat atau dengan kata lain harus terdistribusi secara merata. Hal ini dapat dilihat secara jelas dalam Pasal 23 s/d Pasal 34 UU Nomor 41 Tahun 1999 yang mengatur mengenai pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan.
Atas dasar asumsi tersebut, yakni bahwa dalam rangka memperoleh manfaat yang optimal dari hutan dan kawasan hutan bagi kesejahteraan masyarakat, pada prinsipnya semua hutan dan kawasan hutan dapat dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan sifat, karateristik, dan kerentanannya serta tidak dibenarkan merubah fungsi pokoknya.
Pada dasarnya, asumsi tersebut sah-sah saja. Yang kemudian menjadi permasalahan adalah ketika pada tataran implementasi, dimana pengelolaan dan pemanfaatan hutan dan kawasan hutan tersebut diserahkan sepenuhnya kepada pihak swasta atau pengusaha yang notabene mereka akan selalu menerapkan prinsip-prinsip ekonomi yang berakar dari sistem kapitalisme, ‘pengeluaran minimal untuk mendapatkan keuntungan maksimal’. Sehingga yang kemudian terjadi adalah mereka tidak akan sungkan untuk melakukan apapun untuk memuluskan segala kepentingannya guna mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, termasuk menyuap para pengambil kebijakan.
Selain itu, karakter kapitalisme yang individualis telah mewujud dalam sikap menomorsatukan kepemilikan individu (private property) sebagai premis ekonomi dalam kapitalisme (Heilbroner,1991 dalam Al-Jawi, 2006). Wajarlah jika dalam pengelolaan hutan, pengusaha memandang hutan sebagai milik individu, yakni milik pengusaha melalui pemberian HPH/IUPHHK yang diberikan oleh penguasa, sementara Pemerintah memandang hutan sebagai milik Negara yang boleh diserahkan pemanfaatannya atau pengelolaannya kepada perorangan, koperasi, dan atau swasta untuk mendapatkan manfaat maksimal dari hutan dengan dalih guna sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Selain mengutamakan kepemilikan individu, pendekatan kapitalisme yang utilitarian telah melahirkan sikap eksploitatif atas sumber daya alam seraya mengabaikan aspek moralitas. Utilitarianisme menilai baik buruknya suatu tindakan berdasarkan akibatnya bagi banyak orang. Tindakan publik tidak dinilai sebagai baik atau buruk berdasarkan nilai kebijakan atau tindakan itu sendiri. Pijakan obyektif yang digunakan adalah dengan melihat apakah suatu kebijakan atau tindakan publik tersebut membawa manfaat atau akibat yang berguna, atau sebaliknya membawa kerugian bagi orang-orang terkait. Artinya hanya sekedar mementingkan aspek kemanfaatan dari sebuah kebijakan.
Hal inilah yang dapat menjelaskan mengapa dalam pengelolaan hutan selama ini sering terjadi penyelewengan pelaksanaan regulasi, misalnya perusahaan IUPHHK-Alam (HPH) melakukan penebangan di luar areal kerjanya dan di luar blok RKT yang disahkan, menebang melebihi toleransi volume yang diperkenankan, menebang di bawah limit diameter yang ditetapkan, dan lain-lain. Juga termasuk penyimpangan tidak dilaksanakannya pembinaan hutan, penanaman tanah kosong, dan lain-lain.
Walhasil, hutan yang semestinya menjadi sumber kekayaan rakyat Indonesia ternyata hasilnya nyaris tidak dirasakan oleh mayoritas rakyat karena mengalami kegagalan dalam pengelolaannya. Dan hal tersebut bersumber pada diterapkannya sebuah sistem ekonomi yang berasal dari ideologi yang memang rusak dari akarnya yakni kapitalisme.

Kepemilikan Sumber Daya Hutan dalam Perspektif Islam
Jika kita hendak memasuki wilayah pembahasan sistem ekonomi, maka pembahasan awal yang paling penting untuk dijawab adalah menyangkut pandangannya terhadap keberadaan seluruh sumber daya yang ada di dunia ini. Demikian juga dalam pembahasan sistem ekonomi Islam, kita harus memahami terlebih dahulu bagaimana pandangan sistem ekonomi Islam dalam memandang masalah sumber daya ini.
Dalam pandangan sistem ekonomi Islam, harta kekayaan yang ada di bumi ini tidaklah bebas untuk dimiliki oleh individu, sebagaimana yang ada dalam pemahaman sistem ekonomi kapitalisme. Sebaliknya juga tidak seperti dalam pandangan sistem ekonomi sosialisme, yang memandang bahwa harta kekayaan yang ada di bumi ini harus sepenuhnya dikuasai oleh negara. Di dalam sistem ekonomi Islam, status kepemilikan terhadap seluruh harta kekayaan yang ada di bumi ini dapat dikategorikan dalam 3 kelompok, yaitu:
Pertama : Kepemilikan individu, yaitu hukum syara’ yang berlaku bagi zat atau manfaat tertentu, yang memungkinkan bagi yang memperolehnya untuk memanfaatkannya secara langsung atau mengambil kompensasi (iwadh) dari barang tersebut.
Kedua : Kepemilikan umum, yaitu ijin Asy-Syari’ kepada suatu komunitas untuk bersama-sama memanfaatkan suatu benda.
Ketiga : Kepemilikan negara, yaitu harta yang tidak termasuk kategori milik umum melainkan milik individu, namun barang-barang tersebut terkait dengan hak kaum muslimin secara umum.
Dari pembagian kepemilikan dalam ekonomi Islam tersebut, maka posisi sumber daya alam seperti pertambangan, energi, hutan, air dan sebagainya masuk kategori yang kedua, yaitu kepemilikan umum karena termasuk dalam SDA yang menguasai hajat hidup orang banyak. Pendapat ini dapat dipahami dari dalil Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud :
«النّارِ وَ الْكَلاَءِ وَ الْمَاءِ فِي : الثّلاَثِ فِي شُرَكَاءُ اَلنَّاسُ»
Manusia itu berserikat (punya andil) dalam tiga perkara, yaitu: air, padang rumput, dan api (BBM, gas, listrik, dsb). (HR Ahmad dan Abu Dawud).
Dalam Hadits di atas, selain menyebut air dan api, Rasul SAW juga menyebut lafadz padang rumput, yang dimaksudkan adalah padang gembalaan, hutan, dan sejenisnya. Dengan demikian, berbagai sumber daya yang disebut dalam Hadits di atas adalah masuk dalam kategori kepemilikan umum. Konsekuensi dari bentuk-bentuk kepemilikan tersebut juga akan sangat berpengaruh pada politik ekonomi dari pengelolaan sumber daya alam tersebut.

Politik Ekonomi Pengelolaan Hutan Perspektif Islam
Hakikatnya, alam semesta beserta isinya adalah milik Allah SWT yang diamanahkan kepada manusia untuk mengelolanya. Sumber daya alam termasuk hutan tentunya, yang merupakan milik umum harus dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat sebagai pemiliknya. Karenanya kita harus memiliki pandangan dengan tegas bahwa rakyatlah yang sesungguhnya menjadi pemilik hakiki sumber daya tersebut. Kepemilikan ini tidak bisa berpindah lagi, baik berpindah kepada negara, kepada swasta, apalagi kepada swasta luar negeri (baca : asing).
Lantas yang menjadi pertanyaan, siapa yang harus mengelolanya ? Menurut perspektif politik ekonomi Islam adalah Negara. Namun, yang tetap harus diingat adalah bahwa tugas negara hanyalah mengelola, bukan memiliki. Tanggung jawab negara adalah mengelola seluruh sumber daya alam itu untuk digunakan sepenuhnya bagi kemakmuran rakyatnya. Paradigma pengelolaan SDA milik umum yang berbasis swasta (corporate based management) diubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh negara (state based management) dengan tetap berorientasi pada kelestarian sumber daya (sustainable resources principle). Tidak dibenarkan hutan dan milik umum lainnya dikapling-kapling untuk perusahaan swasta. Memang dalam Forest Agreement tidak menyebutkan bahwa penguasaan pengelolaan hutan tersebut bukan dalam bentuk hak milik, namun yang berhak memiliki hasil bersih dari sumber daya hutan yang telah dieksploitasi tersebut tetaplah para pemegang sahamnya (setelah dikurangi biaya produksi, PSDH dan DR, pajak, gaji karyawan dan pungutan sektor kehutanan lainnya). Perusahaan swasta seharusnya hanya boleh disertakan sebagai kontraktor, misalnya, atau kerjasama namun tetap penguasaan dan kebijakannya ada pada perusahaan negara.

Hasil Pengelolaan Hutan dan Pendistribusiannya
Segala penghasilan dari pengelolaan hutan dan hasil hutan menjadi sumber pendapatan kas negara (Baitul Mal) dari sektor Kepemilikan Umum. Mengenai distribusi hasil hutan, negara tidak terikat dengan satu cara tertentu yang baku. Negara boleh mendistribusikan hasil hutan dalam berbagai cara sepanjang untuk kemaslahatan rakyat dalam bingkai syariat Islam. Kaidah fikih menyebutkan : “Kebijakan Imam/Khalifah dalam mengatur rakyatnya berpatokan pada asas kemaslahatan”.
Pemasukan dari sektor kepemilikan umum ini, hasilnya dapat digunakan untuk : pertama, biaya eksploitasi sumber daya hutan, mulai dari biaya tenaga kerja, pembangunan infrastruktur, penyediaan perlengkapan, dll. Kedua, dibagikan langsung kepada masyarakat yang pada dasarnya merupakan pemilik yang sah dari sumber daya hutan dimaksud. Amirul Mukminin (Khalifah) bisa membagikannya dalam bentuk benda yang memang diperlukan oleh masayarakat seperti listrik, air, pelayanan kesehatan, dan lain-lain secara gratis atau langsung dalam bentuk uang hasil penjualan. Ketiga, membangun berbagai sarana dan prasarana untuk kepentingan umum seperti jalan, taman, rumah sakit, sekolah, dll. Dan keempat, sebagian hasil kepemilikan umum itu dapat dialokasikan untuk biaya penyebaran risalah Islam (dakwah) dan jihad, gaji pegawai negeri, tentara dan sebagainya.

Kesimpulan
Persoalan yang paling krusial menyangkut permasalahan sumber daya hutan di Indonesia ini sesungguhnya bukan terletak pada masalah langka atau tidaknya sumber daya ini, bukan juga pada masalah mahal atau tidaknya harga sumber daya ini. Termasuk juga, bukan masalah sulit atau tidaknya untuk mendapatkannya. Akan tetapi, semuanya hanya bermuara kepada keputusan politik ekonomi dari pengelolaan sumber daya itu sendiri. Pertanyaannya adalah, apakah pengelolaannya akan mengabdi kepada kepentingan segelintir kaum kapitalis ataukah akan mengabdi kepada kepentingan rakyat sebagai pemilik hakiki dari sumber daya tersebut ?
Jika kita dapat mengembalikan posisi kepemilikan sumber daya hutan kepada pemiliknya yang hakiki, yaitu rakyat, sedangkan tugas negara hanyalah mengelolanya untuk kepentingan seluruh rakyatnya, maka Insya Allah akan terurailah segenap persoalan benang ruwet dari sumber daya hutan di negeri ini.
Jelas sekali, pemerintah harus memanfaatkan seoptimal mungkin sumber daya hutan negeri ini yang sesungguhnya sangat melimpah itu. Harus ada strategi baru dalam memanfaatkan sumber daya itu. Namun demikian, strategi apa pun tidak akan dapat berjalan jika tetap berada dalam kontrol undang-undang dan peraturan yang bersumber dari sistem kapitalisme-sekular seperti sekarang ini. Sudah saatnya, pengelolaan sumber daya hutan diatur dengan undang-undang dan peraturan yang bersumber dari syariat Allah, Zat Yang Mahatahu atas segala sesuatu, yang pasti jauh lebih mengetahui apa yang terbaik bagi manusia. Karena itu, marilah kita renungkan kembali ayat berikut :
 •         
Apakah (sistem) hukum jahiliyah yang mereka kehendaki. (Sistem) hukum siapakah yang lebih baik dari pada (sistem) hukum Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).
Wallahu a’lam bi ash-showab.

2 komentar: